PROBOLINGGO, koranmadura.com – Perubahan iklim yang salah satunya disebabkan oleh pemanasan global semakin terasa dampaknya. Yang paling mencolok adalah musim penghujan dan kemarau yang tidak dapat diprediksi.
Selain itu juga ancaman kekurangan ketersediaan pangan dan air bersih akibat kegagalan panen dan rusaknya sumber – sumber air. Ekses dari kekurangan pangan dan air bersih adalah menurunnya kualitas kesehatan masyarakat terutama ditinjau dari status gizi dan penyakit berbasis lingkungan.
“BLH Kota Probolinggo menggaas kampung perubahan iklim. ini merupakan program nasional dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan beberapa kali Kota Probolinggo, menggagasnya sudah masuk skala Provinsi,” ujar Kabid P3KLH, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo, Dwi Agustin Rahayu, Jum’at (23/10) kemarin.
Ia mengatakan, rencana aksi proklim ini di awali dengan kegiatan sosialisasi, kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan pemetaan kurang lebih satu bulan. Setelah itu ditindaklanjuti dengan pemetaan melibatkan unsur masyarakat, kemudian di susun skala prioritas dari hasil isu, yaitu menyusun rencana aksi kebutuhan apa.
“ Kampung perubahan iklim yang kami gagas di wilayah Kelurahan Sumbertaman, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo. Harapannya bisa skala nasional, karena merupakan satu-satunya kota di Jatim, yang didampingi oleh GIZ selain Solo dan Semarang, dan setelah ini GIZ akan membantu membuat proposal, kemudian menghubungkan degan Negara donor, untuk membantu pendanaan,”tandas Dwi Agustin Rahayu.
Tujuan dari kegiatan ini, kata Dwi Agustin Rahayu, adalah melibatkan masyarakat dalam mengatasi dampak perubahan iklim, dan menurunkan emisi sebesar dua belas persen pada tahun 2020.
Tak hanya itu, salah satu teknik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah mempersiapkan daerah untuk menempuh langkah – langkah terbaik sebagai upaya untuk meminimalisir dampak perubahan iklim yang dikenal dengan program kampung iklim.
“Program ini digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 2010, namun dalam tataran implementasi di daerah rupanya kurang begitu mendapat sambutan yang diharapkan. Masalah perubahan iklim memang terkesan hanya ramai dibicarakan pada tataran konferensi internasional ataupun sekedar kebijakan pada tingkat Kementerian,”katanya.
Gagasan awal dari konsep kampung iklim adalah di mana sebuah kampung belum ada penetapan batasan kewilayahan apakah sebatas kelurahan/desa atau kecamatan, masyarakatnya secara kritis dalam segala tindakan baik teknis maupun non teknis, berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengurangan pemanasan global sebagai salah satu penyumbang terbesar perubahan iklim.
“Program ini diharapkan targetnya untuk mengurangi emisi nasional sebesar 26 persen pada tahun 2020 dapat terwujud. Selain itu juga untuk memanfaatkan secara optimal sumber daya alam sebagai sumber energi yang terjangkau secara ekonomi dan berkelanjutan, misalnya pemanfaatan limbah yang selama ini dibuang menjadi sumber enrgi,”terang Dwi Agustin Rahayu.
Dwi Agustin Rahayu menambahkan, upaya menciptakan kampung iklim tidak terlalu rumit, yang menjadi kunci utama tetaplah kesadaran dari warga yang bersangkutan akan pentingnya melakukan sesuatu sebagai kontribusi untuk pelestarian sumber daya alam.
“Tentunya inisiasi dari pihak pemerintah untuk lebih memberi greget pada upaya penanggulangan dampak perubahan iklim tersebut tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari masyarakat,”paparnya.
(M. HISBULLAH HUDA)