
PAMEKASAN, koranmadura.com – Budaya sapi lotrengan dikenal juga dengan nama sapi sonok. Lotrengan ini sudah dipatenkan menjadi salah satu seni kebudayaan di Madura. Setiap tahun digelar festival sapi lotrengan untuk menjaga kelestariannya.
Tahun ini, kegiatan sapi lotrengan yang juga disebut dengan kontes kecantikan sapi se-Madura, kembali diselenggarakan di Stadion R. Soenarto Pamekasan, Minggu (25/10) dengan diikuti 39 pasang sapi betina. Kegiatan tersebut dimulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.
Pengunjungnya pun bukan hanya dari warga Madura, melainkan pula beberapa wisatawan daerah di Indonesia, termasuk wisatawan mancanegara. Mereka datang tidak sekadar untuk menonton, melainkan juga menyempatkan diri foto dengan pasangan sapi-sapi budaya itu.
Peserta yang ikut dalam kontes kali ini datang dari tiga kabupaten di Pulau Madura, yaitu dari Kabupaten Pamekasan sebanyak 15 pasang sapi, Kabupaten Sumenep sebanyak 15 pasang sapi, dan Kabupaten Sampang sebanyak 9 pasang sapi.
Sepasang sapi betina yang dilombakan sudah terpilih. Tidak hanya mempertontonkan kecantikan sapi, juga keindahan dan kebersihan kulit, kuku, dan tanduk sapi, termasuk juga kekompakan langkah sapi, hingga mencapai garis finish. Setelah pasangan sapi tiba di gapura, panitia memanggil pemilik pasangan sapi maju untuk menari bersama sinden diikuti yang lain, sambil memberikan uang saweran kepada sinden.
“Aspek yang dinilai yaitu kondisi badan sapi. Setelah itu, langkah sapi pada waktu berangkat jalannya bagus, dan waktu naik ke gapura kakinya bersamaan,” kata salah satu dewan juri H. Zainuddin.
Menurut, Ketua Paguyuban Sapi Sono’ Madura ini, digelarnya kontes sapi yang dalam sejarahnya disebut lotrengan itu tidak menjadikan hadiah sebagai tujuannya. Akan tetapi lebih pada mempertahankan kelestarian dan mempererat tali silaturahmi antara pemilik sapi di Madura.
Dalam sejarahnya, lotrengan pertama kali dicetuskan oleh warga Batu Kerbuy pesisir utara Pamekasan. Awalnya, setiap kali selesai bekerja membajak ladang, para petani biasanya memandikan sapinya itu. Setelah dimandikan maka sepasang sapi itu didiamkan ke satu tiang ”tancek’’. Kebiasaan itu juga dilakukan oleh petani lain dalam satu petak tanah tegal, sehingga tampak ramai.
Dalam perkembangannya, kemudian muncul pemikiran dari para petani untuk memilih dan melombakan mana sapi yang paling bersih dan rapi berdiri. Pasangan sapi itu juga kemudian didandani dengan aksesoris lain yang indah. Kemudian dari inilah tradisi ini sapi sono’ itu muncul, yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya masyarakat Pamekasan dan Madura pada umumnya.
Dalam versi sejarah lain, sapi sonok atau sapi lotrengan itu berawal dari Pangeran Jokotole, raja Sumenep yang ke-13 (1415-1460). Konon dalam masa kepemimpinannya, ketika para petani selesai panen, merayakan tasyakuran bersama rakyatnya dengan memajang sapi-sapi petani yang dipilihnya. Budaya it uterus berkembang dengan nama sapi lotrengan, kemudian ada juga yang menyebutnya sapi sonok, kontes sapi budaya, dan terus berkembang seiring zaman. Budaya ini cukup unik karena memiliki sejumlah nama istilah.
Tidak hanya itu, dari aspek sosial budaya sapi ini mendekatkan hubungan sosial masyarakat Madura, dan dari budaya juga menjadikan sapi ini sebagai sebuah hasil kreasi masyarakat yang menjadi kebanggaan. Sedangkan dari aspek teknologi, lahirlah bibit sapi yang berkualitas dan menjaga kelestarian spesies sapi Madura.
Salah satu Pemilik sapi sono’ H. Faisol Amir berharap kontes sapi sonok itu terus digelar. Baginya, selain menjaga silaturrahmi antara pemilik sapi dan menjaga budayanya. Kontes sapi semacam itu, bisa mempromosikan sapi yang dirawatnya secara telaten.
“Terbukti, setiap tahun banyak sapi sonok laku dengan harga tinggi, mencapai ratusan juta. Makanya sapi sonok bisa meningkatkan kesejahteraan peternak sapi,” kata H. Faisol Amir.
(ALI SYAHRONI/RAH)