“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Inilah sekelumit penggalan pernyataan Bung Karno. Sebuah pernyataan prediktif yang menemukan momentumnya ketika kita bertanya, benarkah bangsa Indonesia telah mencapai kemerdekaannya yang sejati sebagai suatu bangsa yang berdaulat? Ternyata tidak.
Sebagai suatu bangsa yang merdeka, Republik Indonesia tengah menghadapi krisis multidimensional. Bangsa Indonesia masih perlu berjuang untuk menjadikan bangsa ini mencapai visi kemerdekaan dan kedaulatannya sebagaimana yang dicita-citakannya dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada sisi lain, Indonesia sedang dihantui kolonialisme gaya baru melalui upaya-upaya penghancuran peradaban dan kedaulatan bangsa yang sedang gencar dilakukan oleh bangsa-bangsa lain dengan berbagai cara, mulai dari upaya pelemahan kekuatan ideologi bernegara, penghancuran perabadan bangsa untuk merusak moralitas masyarakat, penyemaian konflik antar agama, penanaman sistem ekonomi neo-liberalisme.
Inilah ancaman mendasar sesungguhnya yang harus disadari oleh pemerintah ketika semangat dan spirit pembangunan negara tidak diarahkan sepenuhnya untuk martabat bangsa dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ini mengindikasikan bahwa NKRI sedang mengalami proses transisi demokrasi dan berada dalam situasi kritis yang harus segera diobati dengan terus meningkatkan proses nation building yang belum sempurna seperti amanat the founding fathers di atas. Kalau tidak, maka ketidakadilan sosial yang sedang berkembang subur dalam negara kita akan melahirkan perpecahan yang mengarah pada konflik yang membahayakan.
Bila proses transisi ini tidak bisa dilalui dengan baik, dan jika roda perjalanan pemerintahan era reformasi ini tidak kembali lagi kepada semangat kemerdekaan RI dan nilai-nilai Pancasila yang dicita-citakan pendiri Republik ini, bukan disintegrasi NKRI saja yang menjadi ancaman, lebih dari itu kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau dalam bahasanya Imam B Prasodjo (2001) hancurnya social bond (kerekatan sosial), kalau social bond hancur, maka lahirlah social distrust (iklim tidak saling mempercayai dan saling curiga) di antara individu masyarakat dan kelompok-kelompok sosial dan etnis tertentu, sehingga identitas-identitas individu dan kelompok akan saling bermusuhan dan saling berupaya memerdekakan diri. Tentu hal ini membahayakan NKRI itu sendiri.
Reaktualisasi Pancasila
Untuk itu, di era Reformasi yang sedang menghadapi berbagai tantangan dan problematika kebangsaan di atas, kini kehadiran Pancasila sebagai roh peradaban bangsa dan urat nadi pembangunan nasional harus kembali dihidupkan dan menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik demi tegaknya NKRI.
Kini, kekuatan Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara perlu direaktualisasi, direstorasi, dan direvitalisasi dalam kesadaran baru, semangat baru, dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia agar tidak mudah terancam dari segala bentuk intimidasi, eksploitasi dan imprealisme dari negara-negara lain yang lambat laun akan menghancurkan NKRI sendiri.
Untuk itu, menurut Bapak B.J. Habibie (2011), diperlukan upaya membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila ini harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik pembangunan yang tidak ada implementasinya, dan bisa menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya agar menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Selain itu, ada beberapa alasan penting mengapa diperlukan aktualisasi dan restorasi Pancasila; Pertama, Pancasila sebagai sebuah ideologi sudah begitu jelas memberi nilai-nilai tuntunan dan tinggal diimplementasikan; Kedua, munculnya kesadaran bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai “harga mati” bersama dengan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD ‘45 yang lebih dikenal dengan Empat Pilar Kebangsaan dan Kenegaraan; dan Ketiga, bangsa Indonesia sudah mulai kehilangan visi, hidup dalam kegamangan tanpa ikatan ideologi yang kuat dan disinilah posisi dan momentum yang baik untuk kembali membumikan Pancasila sebagai vision of state Indonesia.
Untuk itu, pembangunan peradaban bangsa ke depan harus mampu menjadikan Pancasila “obat ideologi” yang kuat menyatukan semua komponen bangsa dalam membangun “nation character building”. Pancasila harus menjadi “obat anti rusuh dan anti SARA, anti konflik, anti liberalisme, dan sebagainya. Disamping perlunya internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun non formal (masyarakat). Tentu dengan revitalisasi sistem lama (masa orde Baru) yang terbukti gagal dalam mengawal ideologisasi Pancasila.
Selain itu, pemerintah diwajibkan untuk melahirkan political will yang harus disertai dengan political action dalam upaya memperkuat peran dan implementasi Pancasila dalam seluruh kebijakan pembangunan nasional yang akan dilaksanakannya. Disamping kewajiban pemerintah dengan segenap pelakunya wajib untuk menjiwai Pancasila dan menjadi teladan bagi publik. Artinya perilaku korupsi, kolusi, egoisme kelompok, nepotisme, eksploitasi, imprealisme dan lain-lain harus segera ditinggalkan. Kalau tidak, maka segala bentuk ancaman dan penghancuran bangsa yang sedang gencar terjadi akan menjadi nyata. Tentu seluruh komponen bangsa kita sendiri yang akan merasakan dampaknya, bukan?. Wallahu a’lam! [*]
Oleh: Fathor Rachman Utsman
Dosen Pascasarjana Instika Guluk-Guluk. Tinggal di Sumenep