Sedikitnya ada tiga kali debat publik yang dilakukan oleh panitia penyelenggara Pilkada untuk menguji visi, misi dan program para kandidat yang bertarung pada Pilkada yang akan digelar serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.
Penyelenggaraan debat publik sekarang lebih banyak dimaknai sebagai ritual seremonial semata baik oleh kandidat, panitia maupun masyarakat secara umum. Sehingga tidak menghasilkan kualitas demokrasi dan kandidat yang lebih baik. Hal ini bisa dibuktikan dengan terlalu dominannya pengaturan debat oleh pihak panitia. Bahkan pada level pertanyaan yang diajukan oleh pakar maupun moderator debat, yang sudah disiapkan oleh panitia.
Debat publik menjadi monoton, tidak dinamis, kalaupun ada yang menarik biasanya pada sesi aksi saling serang yang dilakukan oleh para kandidat. Hal ini menjadi cerminan, bahwa debat publik yang diselenggarakan harus dibuat lebih menarik, akuntabel dan bisa membuat kualitas demokrasi berjalan lebih bermartabat.
Debat publik bisa menjadi satu sarana efektif bagi para kandidat untuk menyampaikan pesan visi, misi dan program yang akan dilakukan jika terpilih nanti. Sehingga dengan begitu, penjelasan dan uraian yang terkait dengan keseluruhan hal yang akan dijalankan harus terarah, detil dan mendalam. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan, sebab debat kandidat minimal digelar dalam tiga kali pertemuan. Jika masih kurang, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebetulnya bisa mengupayakan bisa berlangsung hingga lima kali.
Dengan begitu jawaban yang disampaikan kandidat saat dikejar dengan pertanyaan oleh panelis maupun kompetitor tidak normatif, atau hanya sekadar ngeles saja, karena jawaban dianggap membahayakan posisinya jika terpilih nanti. Hal ini menjadi sangat urgen, sebab masyarakat pemilih harus mendapat informasi yang utuh mengenai kandidat. Sehingga mereka punya tanggung jawab terhadap kandidat yang hendak dipilihnya.
Debat publik juga harus bisa menjadi sarana untuk menyatakan komitmen kerja dari para kandidat. Oleh sebab itu, kenapa debat publik selalu dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui media massa, baik televisi maupun radio. Hal tersebut harus dimaknai sebagai tempat untuk mendeklarasikan komitmen apa yang hendak dibangun ke depan jika terpilih.
Lebih dari itu, pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para kandidat di depan publik, bukanlah pernyataan omong kosong yang hanya berupa janji-janji palsu belaka. Namun merupakan rangkaian pernyataan komitmen terhadap program yang hendak dijalankan. Karena itu setiap komitmen yang disampaikan haruslah terukur dan tidak asal bicara alias asbun.
Terukur karena apa yang disampaikan oleh kandidat akan ditagih oleh rakyat saat sudah menjabat sebagai kepala daerah dan wakilnya. Mestinya, debat publik bisa membuat para kandidat menyampaikan programnya secara utuh dalam waktu lima tahun ke depan. Program tersebut dijelaskan secara rinci yang kemudian diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi naskah perjanjian antara kandidat dengan rakyat yang secara otomatis berlaku ketentuan, jika kandidat terpilih tidak bisa memenuhi janji dan komitmen yang sudah tertulis di dalam naskah dan notulen, maka dia harus bersedia menerima sanksi dari rakyat, mulai dari yang ringat yang terberat, mundur dari jabatan dengan sukarela tanpa ada paksaan.
Program terukur yang dimaksud meliputi seluruh bidang dan persoalan yang dihadapi masyarakat, atau minimal tercermin dari struktur pemerintah yang ada. Mulai dari persoalan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Di bidang pendidikan misalnya, apa yang akan dilakukan oleh kandidat terpilih dalam satu tahun pertama, tahun kedua, sampai pada tahun kelima. Tahun pertama misalnya dari sisi fisik akan membangun 500 ruang kelas baru, atau merehab, 1000 ruang kelas yang sudah rusak, dan seterusnya. Begitu pula dengan program nonfisik, seperti mutu dan kualitas guru pengajar dan para siswa.
Infrastruktur jalan misalnya, tahun pertama akan membangun berapa kilometer, atau memperbaiki berapa kilometer jalan. Dan seterusnya, dari sisi pendapatan asli daerah (PAD) tahun pertama berapa, kedua dan seterusnya, dan dari mana saja pendapatan itu akan diperoleh.
Dari komitmen terhadap program kerja yang disampaikan itu masyarakat akan menilai apakah program kerja yang disampaikan oleh kandidat logis atau tidak untuk direalisasikan, diukur dengan APBD, perangkat dan birokrasi yang ada, juga sumber daya alam yang dimiliki.
Inilah esensi dari pendidikan politik yang juga harus dilakukan oleh kandidat kepada pemilihnya. Meski tidak seluruhnya pemilih merupakan pemilih rasional. Namun pendidikan politik itu harus dilakukan dan perlu dimulai dari kandidat. Dengan begitu, jika kandidat yang terpilih dan menjalankan program amanah terhadap jabatan yang diemban, dengan otomatis akan menimbulkan kepercayaan kembali dari rakyat kepada para pemimpinnya.
Sehingga, debat publik bukanlah ajang untuk saling menjelekkan, menjatuhkan kompetitor atau kandidat lain, yang pada akhirnya berujung pada debat kusir yang tidak memiliki makna pendidikan politik bagi pemilih. Debat publik tidak perlu menjadi ajang saling kecam atau saling bully di depan rakyat, karena rakyat harus dibeli pilihan yang bisa mencerdaskan mereka dalam memilih pemimpin.
Debat publik, harus menjadi ajang untuk menguji program yang disampaikan oleh kandidat, baik oleh sesama kandidat maupun oleh pemilih. Karena kompetitor akan mengejar langkah dan upaya untuk mewujudkan itu yang akan betul-betul diuji probabilitasnya, sehingga kandidat tidak asal bicara terhadap programnya hanya karena ingin kelihatan lebih hebat di depan pemilih, padahal hal tersebut tidak lebih baik, tapi hanya omong kosong belaka. Yang tujuannya bukan untuk membangun daerah, tapi untuk menipu pemilih. Jika itu terjadi akan sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi yang meniscayakan partisipasi publik.
Debat publik juga bisa menjadi panggung hiburan menarik bagi rakyat pemilih. Kenapa begitu penting? Sebab kontestasi tidak boleh membuat ketegangan baik di level kandidat, tim pemenangan maupun pendukung di akar rumput (grass root). Sehingga, tampilan kandidat di depan publik harus dibuat fun dan happy. Ini akan berdampak pada menurunnya tensi ketegangan pendukung di bawah.
Siapapun yang terpilih nantinya akan menjadi kepala daerah bagi seluruh daerah yang dipimpin. Selamat berdemokrasi, selamat berpilkada. Jangan lupa gunakan hak pilih Anda. [*]
Oleh: Moh. Hidayaturrahman
Jurnalis Media Nasional tinggal di Madura