Di era globalisasi ini, semua hal semakin serba cepat. Setiap menit waktu yang bergulir sangat berharga. Konsep-konsep semisal produktivitas, efektivitas, dan efisiensi, sejatinya bernilai inti kearifan mengelola waktu. Itulah ciri hidup masyarakat era infomasi, zaman kesejagatan.
Segi positifnya, masyarakat menjadi sangat disiplin menghargai waktu. Makin meminimalisir kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, sekalipun untuk sekadar bersantai di waktu senggang.
Segi negatifnya? Pelayan publik yang asyik membaca koran, bermain catur, atau keluyuran pada jam kerja, otomatis segera ditegur oleh pemimpin unit kerjanya. Pembiaran terhadap penyalahgunaan waktu mengakibatkan kerugian besar, bukan hanya bagi masyarakat yang dilayani melainkan bagi unit kerja itu sendiri.
Demi waktu dan karena berpacu dengan waktu, masyarakat bergegas menyegerakan pencapaian cita-cita dan kepentingan hidup individualnya. Maunya, urusan-urusan semisal bikin KTP, SIM, membayar pajak, dan sejenisnya, semenit pun tidak boleh terlambat.
Bahkan proses-proses semisal sekolah, kuliah, mencari pekerjaan, naik pangkat dan jabatan, minta dimudahkan dan dipercepat saja. Itu dia segi negatifnya.
Keengganan berjuang dan menghargai waktu, membuahkan prinsip hidup pokoknya. Pokoknya cepat menjadi sarjana, cepat memperoleh pekerjaan, cepat naik pangkat, cepat populer, cepat menjadi kepala daerah, cepat kaya, dan seterusnya. Keserbacepatan mengakibatkan pencapaian cita-cita tak lagi diikhtiarkan dengan ketekunan dan kerja cerdas.
Untuk menjadi sarjana dalam tempo singkat, cukuplah dengan copy paste karya-karya akademik orang lain yang gampang diunduh secara online. Siapa pun yang lemah iman dan pendiriannya, dimungkinkan mengintimi nilai-nilai dan praksis kehidupan yang hampa martabat, semisal menyogok, menjiplak, mengemis jabatan, mengobral janji, membikin sensasi, menipu, bahkan menggadaikan harga diri.
Tumbuhlah siasat hidup yang berbasis pola pikir instan. Di dalam yang instan-instan pasti ada rekayasa dan manipulasi. Sang mahaguru selalu wanti-wanti kepadaku. Sebagai pendidik, janganlah Anda menyiapkan hasil didik yang berkategori generasi hot water please.
Sarjana pemesan kopi hangat yang menafikan pentingnya life skill menggodog air dan mengoplos gula-kopi. Sekali Anda melakukan malpraktik pendidikan semacam itu, sepanjang umur sarjana yang Anda bentuk akan menjadi manusia berpola pikir instan, tidak tahan banting.
Celakanya, pola pikir instan kini dirayakan dan seolah-olah dihalalkan di segala penjuru penghidupan. Hasilnya adalah manusia-manusia berkapasitas picisan yang atribut-atributnya diraih melalui proses lintas terabas tanpa batas. Barangkali masyarakat harus membiasakan diri untuk tidak membanggakan orang-orang yang hanya megagungkan gelar akademiknya.
Juga jangan terlalu gampang mengapresiasi selebritas yang tersohor karena keberaniannya berpornoria di depan khalayak, atau kepala daerah produk pilkada yang sarat pembodohan rakyat, atau wakil rakyat yang rabun aspirasi rakyat namun hiperaktif menghimpun rupiah dari projek-projek kerakyatan.
Sebagai serpihan dari budaya inderawi pasif, pola pikir instan itu pula yang menjadi benih-benih mentalitas korup. Percepatan selalu meminta penambahan ongkos. Untuk menjadi bagian dari proses percepatan melalui cara yang instan, ongkosnya berlipat ganda. Makin cepat, makin tinggilah tarifnya. Dengan salah kaprah, kondisi itu kemudian dihayati sebagai kebenaran makna time is money, waktu adalah uang. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Peribahasa etos kerja itu sekarang tidak laku. Yang diberlakukan adalah rumus demokrasi politik dan ekonomi masyarakat yang mendendami kemiskinan diri: berkuasa dahulu kemudian kaya raya.
Untuk itu, ditonjolkanlah fungsi dan sisi otak limbik. Berpikir semata-mata untuk bertahan hidup, memamah biak, dan menjaga rasa aman dari acaman predator. Orientasinya apa lagi kalau bukan kekuasaan dan pembucitan perut sendiri? Keinginan cepat kaya yang digenapi oleh pemilikan kekuasaan, menjadi sarana utama keserakahan individual. Kalau individu-individu yang serakah itu dijumlahkan, jadilah keserakahan kelompok.
Sampai di sini jelas terlihat betapa eratnya kemistri antara pola pikir instan dengan mentalitas korup. Yang menyedihkan, keserakahan dan tindakan korup itu dilancarkan atas nama penyejahteraan rakyat. Padahal, rakyat menanggung utang negara miliaran dolar.
Hati-hati, kekayaan dan kekuasaan itu dapat pula memekarkan narsis dan eksibionis bagi individu pemiliknya. Narsis adalah rasa bangga diri yang berlebihan, eksibionis adalah nafsu pamer kehebatan diri yang berlebihan. Dua jenis gejala sakit kejiwaan tersebut lebih lanjut menguatkan sikap permisif atau serba boleh.
Manusia permisif memaknai hukum dan denda moral sebagai hal yang gampang dikompensasi oleh keberkuasaan dan uang. Pancasila memuliakan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun manusia permisif karena kekayaan yang diserap dari kekuasannya, meyakini keuangan yang maha mengatur. Tumbuhnya makelar kasus dan makaler jabatan setidak-tidaknya terkait dengan sikap itu. Boleh jadi sikap itu pula yang mengakibatkan pelebaran ketimpangan beragam aspek sosial budaya kita sekarang.
Penyimpangan mungkin saja terjadi bertubi-tubi. Pertama, karena ketidakberdayaan kritis rakyat yang cenderung mudah memaafkan subjek perilaku menyimpang. Kedua, karena memori kolektif rakyat gampang di-entry informasi baru, untuk kemudian segera dihapus oleh informasi yang lebih mutakhir. Pantaslah kalau dosa besar orang-orang besar terlalu gampang dilupakan, bahkan diputihkan begitu saja.
Begitulah, betapa sistemik dan luasnya dampak negatif pola pikir instan terhadap segi-segi sosial budaya. Mentalitas korup dan penggelapan uang republik adalah bagian pola pikir itu. Dampak yang paling mencemaskan adalah tidak tertuntaskannya masalah-masalah kemelaratan, pengangguran, dan aneka persoalan ketidakadilan bagi rakyat lapis bawah. Entah sampai kapan, kita hanya bisa menunggu. Semoga saja. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta. Alumnus Universitas Negeri Medan