Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi lembaga peradilan Mahkamah Agung (MA) kembali terulang. Penangkapan Andri Tristianto Sutrisna (ATS), Kasubdit Peninjauan Kembali dan Kasasi Perdata dan Khusus MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (12/2).
Kasusnya hampir sama, sang pejabat ini menerima suap ratusan juta agar putusan kasasi yang sudah ditolah oleh Makhalam Agung tidak segera tiba dikejaksaan, hal ini tentu untuk menghindari eksekusi terhadap si penyuap. Sungguh, kejadian ini menunjukan bahwa praktik mafia masih tumbuh subur di lingkungan lembaga hukum tertinggi.
Sesungguhnya kejiadian ini membuat kita bertanya-tanya tentang bagaimana keadilan di muka bumi ini bisa terwujud jika lembaga peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum justru ternodai oleh praktik mafia. Dilain sisi, seorang hakim yang dianggap wakil Tuhan di bumi untuk menegakan keadilan tetapi justru tercemar prilaku yang tak terpuji dan tidak bisa menjaga mandat sakralitasnya sebagai wakil Tuhan untuk menegakan hukum maka jangan berharap ada keadilan di muka bumi ini.
Kasus ini sesungguhnya pesan untuk pemerintah dan kita semua bahwa praktik mavia timbul tenggelam seiring denagn pergantian rezim pemerintahan. Ketika pemerintah getol menyuarakan pemberantasan mafia hukum maka meraka akan bertiarap untuk sementara waktu. Namun ketika giliran pemerintah lemah dan kendor menyuarakan pemberantasan mafia hukum maka mereka kembali menyusun kekuatan. Disinilah yang perlu diperhatikan.
Pemerintah tidak boleh menganggap hal ini dengan remeh. Kita tahu selama ini, di era pemerintahan Jokwoi tidak terlihat adanya upaya khusus dan spesifik untuk melakukan pemberantasan praktik mafia hukum. Presiden Jokowi berulang kali lebih memilih meningkatkan peran lembaga penegak hukum yang sudah ada: Komisi Pemberantasan Korupsi 9KPK), Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung (MA) dan lainnya.
Jalan yang dipilih presiden Jokowi ini sah-sah saja. Jika cara memberdayakan lembaga hukum yang sudah ada akan lebih efektif, jika kemudian daripada membentuk upaya khusus dan spesifik. Namun perlu kita sadari, bahwa kasus sang pejabat Andri Tristianto Sutrisna menjadi bukti dan fakta bahwa praktik mafia hukum masih banyak terjadi. Di sinilah yang perlu disadari.
Jika demikian, menjadi patut untuk dipertimbangkan jika memang harus saatnya ada upaya khusus dan spesifik untuk memberantas praktik mafia hukum. Dengan cara membentuk lembaga baru yang khusu bertugas memberantas mavia hukum. Selain itu, para hakim dan pimpinan peradilan haruslha berkomitem tegas untuk terus mengupayakan agenda reformasi total dalam tubuh lembaga dan tata laksana organisasi Mahkamah Agung (MA).
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SB) perna membuat trobosan dan upaya strategis memberantak praktik mafia hukum yang bercokol di lingkungan peradilan. Presiden SBY membentuk lembaga baru berupa Satuan Tugas Pemberantasabn Mafia Hukum. Lembaga resmi ini dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tanggal 30 Desember 2009. Lembaga Satuan Tugas Pemberantasabn Mafia Hukum (PMH) ini bertugas melakukan kordinasi, evaluasi, koreksi dan pengawasan agar upaya pemberantasan mafia hukum tetap berjalan dengan efektif. Lembaga ini bertanggungjawab langsung secara vertikal kepada Presiden melalui unit kerja Presiden bidang pengawasan dan pengendalian pembangunan.
Sekalipun kinerja lembaga baru ini tidak menunjukan hasil yang maksimal, memang dalam perjalanannya Satuan Tugas Pemberantasabn Mafia Hukum ini dinilai belum seratus persen memberntas praktik mafia hukum. Namun kita patut mengapresisasi sederet keberhasilan kinerja lembaga Satgas bentukan SBY ini. Tentu kita masih ingat, kasus yang paling menonjol hasil pengungkapan Satgas PMH ini adalah kasus pengungkapan mafia perpajakan yang melibatkan Gayus Tambunan dan penemuan penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Grup yang bernilai triliunan rupiah.
Bagaimanapun, keputusan ada di tangan pemerintah saat ini. Jika memang kemudian presiden Jokowi masih tetap bersikukuh untuk lebih memilih cara optimalsiaisi peran lembaga penegak hukm yang sudah ada, yang harus perlu disadari bahwa kasus Andri Tristianto Sutrisna ini menunjukan bahwa praktik mafia telah berjalan lama dan jika sedikit saja pemerintah lengah dan tidak cepat tanggap maka justru akan memberikan peluang bagi jaringan mafia tumbuh subur, kuat bercokol dan sulit disentuh.
Masih segar dalam ingatan kita ketika beberapa waktu lalu pimpinan Komisi Yudisial malah menjadi tersangka di Bareskrim Mabes Polri akbiat mengkritik hakim Sarpin Rizaldi yang memtutus perkara gugatan praperadailan Waka Komjen Budi Gunawan. Hal ini menunjukan bahwa Komisi Yudisial yang diharapkan sebagai pengawas lembaga peradilan justru masih dinilai (kurang) tidak efektif.
Sesungguhnya disinilah sudah waktunya pemerintahan Jokowi-JK tanggap dan membentuk cara baru untuk mengantisipasi jaringan mafia hukum tumbuh merajalela. Sesungguhnya kasus ini menjadi pesan bagi pemerintah saat ini dan membuka mata kita semua bahwa praktik mafia hukum disinyalir telah tumbuh kembali. Jika pemerintah lengah, tentu kekuatan mafia akan cepat bercokol dan menyebar menggerogoti sendi-sendi sakralitas lembaga peradilan. Dan jika pemerintah tidak mampu atau kalah dari para mafia maka kita akan tinggal menunggu runtuhnya kewibawaan lembaga peradilan dan Negara. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon. Pendiri PT. WF Indo.