PROBOLINGGO | koranmadura.com – Dalam catatan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) pada Polres Probolinggo, periode Januari – April tercatat 35 kasus kekerasan pada anak di wilayah Kabupaten Probolinggo, cenderung meningkat.
“Kasus kekerasan yang ditangani Polres Probolinggo, diantaranya pencabulan, kekerasan, penelantaran, penyalahgunaan alkohol dan persetubuhan. Enam puluh persennya sudah kami selesaikan,”ujar Kanit PPA Satreskrim Polres Probolinggo, Ipda Listo Utomo, saat deklarasi Pers Ramah Anak, peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Gedung Joyolelono, Pemkab Probolinggo, Selasa (26/4).
Ipda Listo Utoma mengatakan, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, kasus ini mengalami peningkatan. Sebab, selama 2015 kekerasan terhadap anak yang masuk di unit PPA sebanyak 98. 69 kasus sudah terselesaikan. Sedangkan sisanya, masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut.
“Jika melihat tren yang terjadi saat ini, kemungkinan kasus kekerasan terhadap anak akan semakin meningkat. Untuk mengungkap kasus kekerasan pada anak, petugas mengalami sejumlah kesulitan. Apalagi, minimnya saksi dan alat bukti. Berbeda dengan kasus pidana umum, dimana saksi dan alat bukti kejahatan, dapat diungkap dalam tempo yang tidak terlalu lama,”tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PWI Jawa Timur, Akhmad Munir, mengatakan, kecenderungan kekerasan karena adanya salah kaprah dalam mendidik anak. Untuk di wilayah Kabupaten Probolinggo adalah kekerasan seksual.
“Kekerasan ini dilakukan oleh orang terdekat dari korban, seperti ayah, saudara, teman, pacar dan orang-orang di sekitarnya,”katanya.
Peran media dalam kasus ini adalah, bagaimana media dapat menghindari berita yang keluar tidak menimbulkan stigma buruk dan menimbulkan korban baru. Hal itu dapat dilakukan dengan tidak membuat judul yang vulgar, dengan isi yang terlalu detail.
“Wartawan itu harus punya empati kepada korban dalam mencari informasi. Sehingga, tulisan yang muncul tidak berefek negatif,” kata Akhmad Munir.
Di bagian terpisah, Direktur LKM-Media Watch, Sirikit Syah, mengatakan peran media dalam porsi pemberitaan sebenarnya dalam kasus anak, tidak semua fakta boleh diekspos.
“Intinya, wartawan memiliki hak untuk memilih fakta, dari sebuah kasus kekerasan maupun pelecehan seksual pada anak,”tuturnya.
Demikian juga, apabila dalam suatu kasus kekerasan pada anak, semua fakta diungkap, akan terjadi efek domino.
“Notabenenya, hal tersebut cenderung negatif. Seperti terjadinya labeling, trauma pada anak. Hingga mengarah ke tindakan destruktif, seperti bunuh diri,”ucap Sirikit Syah.
Pernyataan tersebut, langsung direspon oleh Kanit PPA, Ipda Listo Utomo, mengatakan, guna mengorek keterangan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, pihaknya melakukan dengan pendekatan psikologis. “Secara emosional dan naluriah, anak akan ketakutan jika diintrogasi layaknya orang dewasa,”paparnya. (M. HISBULLAH HUDA)