
Pengarang : Faisal Oddang
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2016
Tebal : xii + 188 hlm, 33 x 19 cm
ISBN : 979-780-853-2
Gegar budaya (culture shock) menjadi fenomena sosiologis yang tidak bisa dihindari di negara kita, Indonesia. Keanekaragaman budaya yang tersebar dari ujung Barat sampai Timur menyimpan eksotisme, sekaligus konflik. Meski tidak dalam skala makro, gegar budaya bisa terjadi dalam hubungan skala kecil: orang per orang. Gegar budaya itulah yang kemudian dijadikan konflik dalam novel Pertanyaan kepada Kenangan karya Faisal Oddang.
Novel ini berkisah tentang seorang perempuan Jawa bernama Rinailah Rindu yang dihantui kenangan kelam. Rencana pernikahannya dengan Lamba Dondi tiga tahun silam akhirnya karam. Pasalnya, Lamba yang asli Toraja tetap memegang teguh tradisi budaya setempat. Upacara rambu solo untuk mengantar arwah ayahnya ke puya (surga) butuh biaya ratusan juta. Tak ayal, pernikahan itu harus ditunda, namun Rinailah Rindu tidak terima. Ibu Rinai yang sudah tak berumur panjang lagi ingin putrinya segera menikah. Namun, upacara rambu solo menggagalkan impian ibu Rinai yang akhirnya meninggal dunia sebelum melihat Rinai melangsungkan pernikahan.
Berlatar Toraja, kisah asmara Rinai diwarnai beragam budaya dan pariwisata Toraja. Desain sampul buku dengan motif ukiran khas Toraja sudah menunjukkan dominasi budaya dalam buku tersebut. Macam-macam eksotisme budaya Toraja berhamburan mendukung cerita utama. Tongkonan, rambu solo, pohon Tarra, puya, tau-tau, mappasilaga tedong, adalah segelintir contoh khazanah budaya yang dihadirkan jelas kepada pembaca novel ini. Selain unsur-unsur budaya yang telah disebutkan di atas, bentang alam untuk menggaet pembaca mengenal pariwisata juga membanjiri novel ini. Toraja International Festival, destinasi bawah laut Selayar, Bulukumba, Pantai Bira, Lovely December, dan masih banyak lagi digambarkan memiliki keindahan yang perlu dijelajahi.
Kecenderungan memakai latar kebudayaan Toraja bisa dimaklumi, bahkan keputusan yang menguntungkan bagi Faisal. Latar kebudayaan Toraja yang belum banyak diangkat dalam karya sastra menjadi ciri khas dan kekuatan tersendiri. Berbeda dengan latar Jawa yang telah banyak dieksploitasi. Cerpen Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon yang ditasbihkan menjadi pemenang cerpen Kompas 2014 pun tidak terlepas dari kejelian penulis mengangkat latar dan budaya Toraja dalam karyanya.
Kecenderungan Faisal mengunggulkan budayanya sangat kentara di novel ini. Dalam salah satu percakapan, Rinai menyindir budaya Toraja: “Kasihan mereka yang tidak memiliki uang. Adat menyusahkan mereka. Bayangkan saja, harga kerbau toraja sampai ratusan juta per ekor,” (hal.39)
Oddang membela melalui tokoh Lamba, “Justru dengan besarnya biaya rambu solo, semangat kerja orang Toraja semakin besar pula. Kupikir itu tantangan dan dorongan semangat,” (hal. 39)
Sayangnya, dalam novel yang menggunakan bahasa populer dan mudah dipahami tersebut, pembaca harus sedikit tersedak saat menikmatinya. Banyak kesalahan ketik mengganggu kenikmatan membaca kata demi kata. Kata people ditulis poeple, tetapi ditulis tatapi, depan ditulis dapan, mendengar ditulis mendegar. Untuk sekaliber penulis cerpen terbaik Kompas 2014, kesalahan tulis yang banyak seharusnya bisa dihindari.
Terlepas dari kekurangan tersebut, novel ini layak untuk dinikmati. Usaha Faisal membawa budaya dan pariwisata daerahnya ke lembar kesusastraan Indonesia mudah dipahami maksudnya. Penciptaan karya berlatar Toraja bisa dikatakan sebagai wujud melawan dominasi Jawasentrisme. Ketika pembangunan fisik dan eksploitasi budaya lebih didominasi Jawa, Oddang hadir untuk memunculkan Toraja sebagai salah satu keanekaragaman Indonesia yang tak kalah eksotis. Jadi, pembaca tak hanya menganggap Indonesia adalah Jawa. Ada pula Toraja dengan segala keunikannya. [*]
Oleh: M. Irkham Abdussalam
Aktif di Etnolib Culture Studies