SINGAPURA | koranmadura.com – Semula saya pikir wajar-wajar orang keturunan Arab di kampung saya tidak fasih, bahkan tidak bisa berbahasa Arab. Tapi sungguh saya hampir menitikkan air mata saat berada di Singapura; melihat dari jauh ketidakbisaan itu ternyata karena satu kemulyaan yang luar biasa, dan itu tidak saya dapatkan di negeri bernama asli Temasik ini.
Berikut catatan Pemimpin Redaksi Koran Madura, Zeinul Ubbadi mengunjungi Singapura bersama sahabat-sahabat keturunan arab di kampung saya, Sumenep. Mereka menamakan diri Grup Veteran.
*****
Tak ingin melewatkan malam di Singapura begitu saja, sekalipun capek saya paksakan untuk keluar hotel. Selain ingin belanja di kawasan kampung bugis, saya ingin meyaksikan lampu-lampu gedung tinggi dan selat kecil di sekitar patung Merlion, patung ikan berkepala singa yang menjadi simbol Singapura modern.
Negeri yang dahulu sebenarnya tak ingin berdiri sebagai negeri berdaulat ini mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa, kurang lebih sekitar 77 persen.Tak heran, tiga kali saya pesan taksi ketiga-tiganya dikemudikan oleh driver bermata sipit dan berkulit putih.
“I want go to kampung bugis,” kata teman saya menyapa sang sopir.
“Mmmmm..” jawabnya sambil melongo. Dan kemudian berucap dengan entah bahasa apa. Dia seperti bingung dan heran, apalagi setelah teman saya mencoba menjelaskannya dengan bahasa Indonesia, dia tambah bingung.
Di jok belakang saya lebih bingung lagi. Bagaimana mungkin di Singapura ada sopir taxi tidak bisa berbahasa Inggris. Sekalipun ia Tionghoa, saya pikir seharusnya ia tahu kosa kata sapa-menyapa sederhana dalam bahasa negeri Ratu Elizabeth itu.
“Oke, we want go to merlion, saja” kata teman saya kesal. Tapi dia pun sulit mengerti. Masih bingung, dan berucap sesuatu yang juga tak kami mengerti.
Akhirnya saya mengeluarkan jurus pamungkas. Saya ambil handphone, dan saya tunjukkan gambar patung Merlion kepadanya. “Oh, oke oke..” katanya sembari menginjak gas.
Saya baru tahu bahwa penduduk Singapura yang berbeda-beda suku itu rata-rata tak saling mengerti bahasa satu sama lain. Mereka rukun, tapi rukun dalam diam. Berjalan beriringan, tapi tanpa keintiman.
Sepanjang perjalanan, sopir itu tak bicara. Saya menduga bukan hanya karena ia tak mengerti bahasa saya, tapi karena ia sibuk mendengarkan radio berbahasa Mandarin yang ia putar di dalam mobil.
Saat itulah saya teringat Yik Ikram, Faiz, Dongok, Bib Najib, Kang Dulla, Yik Toyo dan yang lain-lain. Mereka –teman seperjalanan saya yang entah menyebar keman malam itu– adalah warga keturunan Arab. Tapi karena saking intim dan lamanya tinggal di Madura mereka sepertinya nyaris sama sekali lupa dengan bahasa nenek moyangnya.
Hanya kadang-kadang saja mereka berceloteh menggunakan bahasa Arab.
Bahkan hanya sepotong-sepotong.
“Jamiil” kata yik Toyo saat satu lift bersama cewek cantik. “Uskut” seru Geys saat Faiz berusaha memberitahu korek Yik Dulla yang disembunyikannya. Selebinya, mereka menggunakan bahasa Madura.
Di lain waktu saya pernah bertanya pada salah satu dari mereka apakah tidak pernah terbersit ingin berkunjung ke arab? Menengok kampung halaman para leluhur, sekalipun letak persisnya tak mungkin ditemukan lagi?
“Arapa’a bet, engkok reya reng Madura. Coma dherena deri Yaman. Entar ka Yaman rah ma’ ecapok bom,” jawabnya disambut tawa teman-teman Veteran yang lain.
Dan saya pun ikut tertawa. Tentu bukan karena lucu, tapi karena merasa bahagia mereka tak ambil pusing soal ras dan etnis. Di Madura, mereka bukan hanya tidak berseteru dengan penduduk asli, tapi juga hidup sangat intim hingga bahasa nenek moyang sendiri pun tanpa sengaja mulai lupa-lupa ingat.
Dilihat dari dekat saat berada di sumenep, ini hal yang biasa-biasa saja. Tapi dilihat dari Singapura, ini sungguh luar biasa. (*)