SUMENEP, koranmadura.com – Masa depan seni tradisional di Kabupaten Sumenep suram, karena perkembangan dari tahun ke tahun cenderung stagnan. Sehingga butuh gerakan baru untuk mengembangkannya. Stagnasi kesenian tradisional sudah dirasakan sejak tahun 2000-an lalu.
Salah seorang pegiat seni senior di Kabupaten Sumenep, Syaf Anton, menuturkan pada tahun 2000 silam dirinya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait, salah satunya eksekutif dan legislatif, agar kesenian lebih mendapat perhatian.
Namun, hal tersebut tak mendapat respon hingga sekarang. Sehingga dia menilai, dunia seni tradisional di Sumenep dari tahun ke tahun stagnan.
“Bukan menurun. Tapi mengalami stagnasi,” paparnya, Selasa (13 September 2016).
Faktor yang menyebabkan kesenian stagnan, menurut dia, salah satunya berkaitan dengan biaya yang harus ditanggung oleh para pelaku kesenian. Padahal setiap kali ingin tampil, para pelaku seni, seperti ludruk dan topeng, membutuhkan modal.
Sementara di satu sisi, lanjutnya, kecenderungan di tengah-tengah masyarakat saat ini berbeda. Masyarakat sudah tidak mau lagi “membiayai” para pelaku seni untuk berkreasi dan ekspresi. Sebab sudah lebih cenderung kepada kesenian modern.
Untuk mencairkan kembali dunia seni yang stagnan itu, kata Anton, harus ada gerakan baru. Salah satunya ialah adanya regenerasi seniman. Menurut dia, para pelaku seni di zaman dulu sekarang sudah berkurang.
“Regenerasi itu harus dimulai dari pembinaan, kemudian pengembangan. Jangan langsung pengembangan. Agar kesenian tak hanya sebagai objek pariwisata,” tuturnya. (FATHOL ALIF/ RAH)
