SUMENEP, koranmadura.com – Ratusan rumah berdiri kokoh di bantaran Kali Marengan, Kabupaten Sumenep. Bahkan, penghuni rumah mewah itu telah memiliki izin mendirikan bangunan. Saat ini bangunan megah yang semuanya teraliri listrik PLN, sehingga membuat suasana rumah semakin megah saat malam hari.
Padahal bangunan tersebut sudah jelas melanggar peraturan. Diakui atau tidak, pemerintah daerah terkesan membiarkan bangunan tersebut melanggar aturan. Sebab, sejak sebelum merdeka, masyarakat mengenal istilah tanah pengairan atau bantaran terlarang untuk bangunan fisik.
“Sejak awal bantaran sungai tidak boleh didirikan bangunan, apalagi dijadikan pemukiman,” kata pegiat Forum Komunikasi Pemuda Sumenep (FKPS), Ainur Rahman, Selasa 15 November 2016.
Menurutnya, pasca proklamasi kemerdekaan ditabuh oleh Presiden RI pertama, Soekarno, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 1991 tentang Sungai. UU itu mengatur tentang perlindungan terhadap bantaran sungai.
Pada tahun 2004, Pemerintah merevisi UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan digantikan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara PP Nomor 25 Tahun 1991 tentang Sungai digantikan PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Dalam aturan tersebut mengamanahkan, 10-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun. Sungai, termasuk sempadan, adalah milik negara.
“Dengan begitu, maka sempadan sungai atau bantaran tidak boleh dikuasai oleh perorangan,” jelasnya.
Sayangnya, meskipun aturan sudah sangat jelas, aksi penyerobotan bantaran tetap terus terjadi. Pemerintah membiarkan tanah negara diserobot, bahkan dimiliki secara pribadi. Tak sedikit warga yang memegang sertifikat hak milik (SHM) atas sepetak tanah di bantaran yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kondisi diperparah dengan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) kepada pemegang sertifikat tanah bantaran.
Tentunya, masyarakat tidak berani membangun bangunan secara permanen tanpa mengantongi SHM dan IMB. Sementara SHM dan IMB tidak mungkin dikeluarkan oleh lembaga swasta, melainkan itu semua dikeluarkan oleh instansi terkait. Jika IMB dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sementara sertifikat tanah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Nah, kalau seperti itu siapa yang akan disalahkan? Apa pemohon atau pemerintah yang kurang selektif mengeluarkan izin,” jelas Ainur.
Dia berharap pemerintah daerah segera bertindak sebelum terlambat. Diyakini, jika dibiarkan akan menjadi salah satu faktor rusaknya alam, karena bisa berpotensi terjadinya bencana alam, seperti banjir yang diakibatkan aliran sungai tersumbat kotoran yang sengaja dibuang oleh penghuni rumah megah itu.
“Kami kira masih belum terlambat jika pemerintah mau berbenah,” tegasnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Sumenep, Eri Susanto, membenarkan jika sempadan kali marengan banyak diserobot dan saat ini sudah ada yang memiliki sertifikat. “Kami tidak tahu kenapa itu terjadi, kalau berkaitan dengan sertifikat, itu BPN yang banyak tahu,” jelasnya. (JUNAIDI/RAH)
