SUMENEP – Peraturan Daerah (Perda) Bebas Buta Aksara Al-Qur’an telah ditetapkan. Namun, keberadaan perda tersebut terus menulai polemik. Bahkan, orang yang menolak perda tersebut semakin meluas. Setidaknya terdapat tujuh alasan kenapa perda tersebut ditolak.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan Perda Bebas Buta Aksara Al-Qur’an yang diselenggarakan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep (DPKS), Selasa (11/6), di Hotel Dreamland. Sejumlah perwakilan dari pengurus pondok pesantren, perguruan tinggi dan ormas keagamaan hadir pada diskusi tersebut.
Ketua DPKS Kamalil Ersyat mengatakan, pihaknya menilai perda bebas buta aksara Al-Qur’an yang telah ditetapkan itu sangat berlebihan. Sebab, untuk memaksimalkan pengetahuan baca-tulis Al-Qur’an di masyarakat tidak perlu diformalkan, cukup dilakukan penekanan melalui sistem belajar yang telah ada selama ini.
”Pada prinsipnya semuanya menginginkan bisa baca Al-Qur’an. Tapi, kan, tidak harus diformalkan dengan perda,” kata Kamalil Ersyat.
Sekretaris PCNU Sumenep A. Dardiri Zubairi mengatakan, ada cara lain yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa membaca Al-Qur’an selain cara formal seperti perda. Ia mencontohkan, dinas pendidikan mengimbau kepada semua sekolah agar ada praktik baca Al-Qur’an. ”Tapi jangan sampai mengeluarkan surat edaran, karena akan berpolemik juga. Cukup dengan imbauan dan praktik baca Al-Qur’an di sekolah,” urainya.
Sekretaris Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, M. Mushthafa menilai perda tersebut tidak lebih dari sensasi. Kata Mushthafa, di lingkungan pesantrennya, semangat membaca Al-Qur’an cukup tinggi sekalipun tidak pernah diatur secara formal. Jika Pesantren Annuqayah yang santrinya hanya sekitar enam ribu tidak perlu, lanjut Kepala SMA 3 Annuqayah itu, apalagi dilingkup yang lebih besar, Kabupaten Sumenep, semakin tidak perlu dilakukan formalisasi dengan perda.
”Di pesantren kami, memang penekanan tahu baca Al-Qur’an memang tinggi, tapi tidak ada aturan yang mengharuskan. Cukup mengintensifkan pembelajaran itu sendiri. Kalau di tingkat kabupaten ada perda, itu hanya sensasi. Sedangkan sertifikat itu akan merusak keberagaman baca Al-Qur’an di Sumenep,” tukasnya.
Sementara Dardiri menanggapi adanya sertifikan baca Al-Qur’an sebagai syarat untuk masuk di sekolah lanjutan, hal itu terlalu mengada-ada, karena harus ada lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat. ”Terus siapa yang akan mengeluarkan sertifikat. Kalau setiap guru ngaji bisa mengeluarkan sertifikat, kan, berarti harus ada standardisasi baca Al-Qur’an di antara guru ngaji itu, dan itu merusak keberagaman budaya setempat,” kata Kepala MA Nasyatul Muta’allimin, Gapura.
Sekalipun perda tersebut meniai polemik, dewan akan memberlakukan sejak tahun 2014. DPKS akan mengevaluasi perda tersebut satu tahun ke depan, dan akan memberikan rekomendasi pada pemerintah terkait banyaknya pihak yang belum menerima perda tersebut. ”Kami akan melakukan evaluasi terhadap perda tersebut,” papar Ersyat.
Formalisasi Agama
Ketua GP Ansor Sumenep Moh. Muhri menilai, pengesahan Raperda Buta Aksara Al-Qur’an merupakan benih formalisasi syariat yang mulai ditanamkan di Sumenep. Dan hal itu bentuk pengkhianatan kepada pancasila. ”Sebab, itu (perda, Red) menyinggung agama lain. Akibatnya, pancasila yang demokratis menjadi terabaikan,” ungkapnya.
Masalah agama, sambung dia, seperti membaca Al-Qur’an sudah merupakan tugas dari tokoh agama dan para kiai, bukan negara. Kiai-kiai masih sanggup untuk mendidik santri-santrinya bisa baca Al-Qur’an. ”Mereka tidak butuh anggaran. Dipastikan masih siap untuk mengajarkan baca tulis Al-Qur’an,” ungkapnya.
Menurut mantan Ketua PMII Sumenep ini, pengesahan itu sangat tergesa-gesa. Sebab, tidak dilakukan survei dan uji publik terlebih dahulu. ”Seharusnya dilakukan survei terlebih dahulu. Untuk mengetahui tingkat panerimaan masyarakat terhadap raperda,” ungkapnya.
Pihaknya curiga, upaya itu dilakukan sebagai upaya formalitas belaka untuk menghabiskan anggaran. ”Namun, kami mengira dewan kurang cerdas dalam membuat raperda. Masak urusan agama di perdakan. Satu hal lagi, itu melanggar nilai keadaban Madura, khusunya Sumenep,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Ketua STKIP-PGRI Sumenep Musaheri. Musaheri mengungkapkan, setiap peraturan seharusnya bertumpu kepada kepentingan manusia secara universal, bukan agama. Dengan begitu, ini jelas menyalahi aturan kaedah pembuatan peraturan. ”Ini sudah bisa menimbulkan kecemburuan besar pada agama lain. Implikasinya jelas negatif,” ujarnya.
Tidak hanya itu, terang dia, keberadaan raperda itu sangat memaksakan kehendak individu. Ini jelas sangat melanggar nilai-nilai demokrasi. ”Agama saja tidak memaksakan kehendak. Jadi, kami sangat menyesalkan adanya perda tersebut,” tuturnya denganb nada serius.
Menurut Musaheri, apabila perda itu dipaksakan, kemungkiunan akan terjadi resistensi. Sebab, akan ada agama lain yang menjadi tidak enak. ”Makanya, untuk menghindari itu perda itu harus dikaji ulang dengan seksama. Itu supaya semua pihak bisa tidak saling cemburu,” ujarnya.
Bagi Musaheri, cantolan raperda itu harusnya jelas kepada UU yang ada di atasnya. UU dasar 1945 juga lebih tidak ada yang mengisyartkan sentiment agama. ”UU 1945 itu sangat pluralis. Makanya, kalau ada yang dibawahnya malah sentiment agama sangat aneh,” ungkapnya.
Berbeda dengan itu, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumenep Moh Yasin memaparkan, pihaknya sepakat dengan adanya perda tersebut. namun, perda yang sudah ditetapkan itu perlu perbaikan. Pasal demi pasal harus diperbaiki dan dikritisi hingga sempurna. ”Kami setuju dengan adanya perda, karena untuk menyelamatkan anak didik kita, tapi satu persatu pasal itu perlu diperbaiki dan dikritisi,” pungkasnya.
Dukungan terhadap perda itu juga disampaikan Forum Kiai Muda Kabupaten Sumenep. Menurut KH Jurjis Muzammil, perda tersebut sangat tepat untuk membentengi pelajar jauh dari agama. “Bagi saya ini langkah tepat, karena melihat anak-anak sekarang memang sudah banyak yang kurang fasih membaca Al-Quran. Tak jadi masalah perda ini ada selagi bertujuan untuk menumbuhkan semangat mengaji pada kalangan pemuda. Yang penting adanya perda ini tidak dijadikan sebagai proyek kaum elite karena anggarannya besar. Jadi, saya berpesan kepada DPRD dan Bupati agar benar-benar serius. Kalau bias masukkan saja pada materi pelajaran sekolah,” terangnya.
Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendikan Kabupaten Sumenep Fajarisman juga mengapresiasi perda tersebut. “Saya setuju dengan perda buta aksara, sebab memang ada banyak dari anak-anak seusia SD kurang menggemari pelajaran al-Quran,” ucapnya.
Ketua Pansus Raperda Buta Aksara Moh. Subaidi bersikukuh pada raperda itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Bahkan, dalam pembahasan pihaknya sudah melibatkan semua pihak. ”Tokoh agama itu juga kami libatkan. Jadi, kami tidak sembarangan melakukan pembahasan,” ucapnya. (rif/yat/sym/mk)