Surabaya – Sebanyak 20 pelajar dari Jawa Timur dan Indonesia Timur yang mengikuti program “Youth Exchange and Study (YES)” 2013-2014 untuk bersekolah selama setahun di Amerika Serikat antara lain ingin membandingkan sistem pendidikan di Indonesia dan AS.
“Saya ingin tahu, pendidikan di Amerika itu bagusnya atau jeleknya seperti apa, lalu pendidikan di Indonesia itu bagusnya atau jeleknya dimana. Akhirnya saya ingin menyatukan yang bagus dari pendidikan di Amerika dan yang bagus dari pendidikan di Indonesia itu,” kata pelajar SMAN I Mataram, Rachmad Iqbal Bhayangkara, di Gedung Konsulat Jenderal AS di Surabaya, Kamis.
Di sela-sela penyambutan 20 pelajar dari Jawa Timur dan Indonesia Timur yang menjadi peserta program YES 2013-2014 oleh Konsul Jenderal AS di Surabaya Joaquin F Monserrate dan Atase Kebudayaan Kedubes AS di Jakarta Frank J Whitaker, ia menyatakan dirinya juga ingin membuktikan rasa sentimen dalam berbagai aksi anti-AS di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
“Kebetulan, saya menjadi satu-satunya pelajar dari Mataram yang berkesempatan mengikuti program YES. Saya ingin membuktikan rasa sentimen dalam berbagai aksi anti-AS di dunia, termasuk di Mataram sendiri,” katanya.
Iqbal yang akan menempuh studi di ‘Deervalley High School’ di Phoenix, Arizona, AS itu juga ingin tahu apakah betul pelajar AS itu nakal seperti yang diberitakan media massa.
“Yang jelas, saya bisa ke luar negeri untuk pertama kalinya, sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia, khususnya budaya Mataram, di sana. Saya juga akan bisa mempelajari budaya Amerika,” katanya.
Pelajar kelas XI SMAN I Mataram itu mengaku dirinya sudah mempersiapkan diri dengan mengasah keterampilan memasak masakan khas Lombok yakni Ayam Taliwang. “Saya juga sudah mengumpulkan rekaman lagu-lagu daerah Mataram, baju adat, alat musik, dan catatan sejarah tentang Mataram,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Atase Kebudayaan Kedubes AS di Jakarta Frank J Whitaker menegaskan bahwa program YES merupakan beasiswa penuh yang diberikan Pemerintah AS untuk meningkatkan pemahaman antara masyarakat AS dengan masyarakat dari 40 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.
“Peserta program ini akan bersekolah di Amerika dan mengikuti kegiatan masyarakat Amerika serta tinggal dengan keluarga Amerika, sehingga mereka akan mengenal Amerika dan masyarakatnya, sekaligus mereka juga dapat menjadi duta untuk menjembatani masyarakat Amerika dalam mengenal negara lain,” katanya.
Ia menyatakan ke-20 pelajar itu merupakan pelajar terpilih di Jatim dan Indonesia Timur, kemudian nantinya akan bergabung dengan 65 pelajar lain dari Indonesia untuk bersama-sama ke Amerika.
“Mereka dipilih melalui seleksi di daerahnya, lalu ke tingkat nasional. Syaratnya, mereka merupakan pelajar yang aktif dan energik serta merepresentasikan daerah di seluruh Indonesia,” katanya.
Sementara itu, koordinator relawan dari Bina Antarbudaya, Sari Tjakrawiralaksana, mengatakan ke-20 pelajar peserta YES itu adalah enam pelajar dari Surabaya, Jember, Pasuruan, enam pelajar dari Malang, enam pelajar dari Makassar, seorang pelajar dari Denpasar, dan seorang pelajar dari Mataram.
“Ke-20 pelajar itu menjadi bagian dari 85 pelajar se-Indonesia yang menjadi peserta YES yang akan dimulai pada Agustus 2013 hingga Juni 2014. Dari jumlah itu, pelajar asal Jatim ada delapan orang. Sebaliknya, pelajar Amerika yang belajar di Jatim dan baru kembali ke negaranya ada tujuh orang,” katanya.
Menurut dia, para pelajar itu menempuh pendidikan seperti di Indonesia. “Mereka yang sudah kembali ke Indonesia umumnya kaget, karena Amerika ternyata sangat majemuk. Alumni YES diharapkan akan menjadi pemimpin masa depan yang memiliki pemahaman yang baik tentang negara lain dengan kemampuan personal dan kepemimpinan yang bersifat global,” katanya.
Di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2003 dan sudah lebih dari 750 pelajar Indonesia dari sekolah umum dan pesantren yang mengikutinya. Sejak tahun 2009, Bina Antarbudaya mengembangkan program YES dengan mendatangkan pelajar AS untuk belajar dan tinggal di Indonesia. (ant/mk)