PAMEKASAN – Majelis hakim Pengadilan Negeri Pamekasan, Senin (22/7), menghukum mantan kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Pamekasan Nurmaluddin lima bulan penjara dan hukuman percobaan selama 10 bulan.
Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menuntut Nurmaluddin hukuman penjara 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun.
Sidang yang dipimpin Mochammad Muchlis itu dimulai pukul 10.00 WIB dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Mohammad Syafi, dilanjutkan pembelaan oleh pengacara terdakwa Bachtiar Pradinata sekaligus pembacaan putusan majelis hakim.
Dalam putusannya, majelis hakim menilai Nurmaluddin terbukti melanggar pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perbuatan tidak menyenangkan, dengan hukuman penjara 5 bulan dan 10 bulan masa percobaan.
”Terdakwa tidak ditahan dan tetap dinyatakan melanggar pidana. Namun apabila selama masa percobaan terdakwa melakukan tindak pidana yang dapat dihukum, maka terdakwa harus menjalani hukuman selama lima bulan,” katanya.
Salah satu pertimbangan majelis hakim di dalam memutuskan perkara tersebut antara lain, terdakwa dan saksi korban, Sukma Umbara Tirta Firdaus, wartawan harian lokal di Madura, telah melakukan perdamaian yang difasilitasi oleh Dewan Pers, dan ditindaklanjuti dengan pencabutan laporan saksi korban ke Polres Pamekasan.
Dengan putusan itu, baik JPU maupun pengacara terdakwa menyatakan menerima dan tidak melakukan banding, sehingga putusan itu langsung memiliki kekuatan hukum tetap.
Kepada wartawan, Jaksa Penuntut Umum, Mohammad Syafi mengaku dirinya tidak melakukan upaya banding karena putusan hakim sudah lebih 2/3 dari tuntutan. Itu berarti bukti-bukti yang diajukannya di persidangan semuanya terbukti.
Sementara kuasa hukum terdakwa, Bachtiar Pradinata mengatakan dirinya tidak melakukan upaya banding karena kliennya sudah menyatakan menerima putusan tersebut.
Sementara Sukma Firdaus menyatakan kecewa dengan putusan itu. Sebab, kasus yang dilakukan mantan pimpinan Kemenag Pamekasan itu bukan kasus pribadi, namun menyangkut profesi jurnalistik.
“Ini sudah menyangkut profesi orang banyak dan bukan kasus pribadi. Hakim harusnya menjadikannya sebagai sebuah pertimbangan dan tidak menyamakannya dengan kasus pribadi,” katanya.
Hal senada juga disampaikan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Mohammad Ghazi. Dia mengatakan, secara Undang Undang menyatakan menerima karena putusan itu didasarkan pada pertimbangan hukum atas bukti yang muncul di persidangan.
Namun, secara profesi, dia mengaku kecewa karena perbuatan itu dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh bagi pelaksanaan hukum dan aturan yang sah dan berlaku.
“Semestinya, penerapan hukum dibedakan antara masyarakat biasa dengan pejabat publik. Apalagi, saudara Nurmal merupakan pucuk pimpinan instansi tingkat kabupaten,” katanya.
Seperti yang diketahui, Nurmaluddin pada saat menjabat sebagai kepala Kantor Kemenag Pamekasan dilaporkan ke polisi karena dinilai melakukan perbuatan tidak menyenangkan berupa ancaman pembunuhan kepada Sukma Firdaus, wartawan harian lokal Maduradi Pamekasan.
Kata senada ancaman itu diucapkan Nurmaluddin saat menemui Sukma di kantornya dan meminta wartawan tersebut menyebutkan sumber berita pemotongan gaji guru untuk Hari Amal Bhakti Kemenag. Permintaan itu ditolak Sukma dengan alasan melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Undang Undang Pers. (awa/muj/rah)