JAKARTA-Pelemahan nilai rupiah yang terus berkelanjutan diperkirakan akan menaikkan cicilan utang luar negeri, termasuk pos-pos belanja APBN yang harus dikeluarkan dalam dollar Amerika Serikat (AS) seperti biaya impor BBM.
Kondisi ini menyebabkan potensi defisit APBNP 2013 bisa lebih besar. Namun penerimaan APBN dari sektor migas juga bertambah dalam rupiah, kecuali pemerintah gagal memenuhi target lifting minyak pada tahun ini. “Penurunan rupiah terhadap dollar AS di satu sisi merugikan di sisi lain bisa menguntungkan,” ujar pengamat ekonomi Hidayatullah Muttaqin di Jakarta, Rabu (24/7).
Menurut dia, penurunan rupiah dapat menjadi momentum untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor. Hanya saja masalahnya, ketergantungan ekspor terhadap impor masih tinggi terutama untuk pasokan bahan baku dan barang modal untuk industri dalam negeri. Hal ini menjadikan kesempatan untuk memperbaiki neraca perdagangan bisa terlewatkan.
Di sisi lain jelas dia berbagai komoditas pangan penting masih tergantung pada impor sehingga jika rupiah tetap bertahan di atas 10.000 sampai akhir tahun, maka dampaknya semakin menekan inflasi di atas asumsi APBNP.
Langkah intervensi pasar secara terus-menerus untuk menahan penurunan rupiah hanya akan menyedot cadangan devisa dan sia-sia saja. Karena itu cara mengatasinya harus merujuk pada sumber masalah yang dihadapi rupiah. “Fluktuasi nilai tukar rupiah adalah akibat penerapan rezim defisa bebas. Liberalisasi sistem moneter Indonesia yang dilakukan sejak masuknya IMF pada tahun 1998 merupakan sumber masalah utama,” imbuh dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Wijayanto mengatakan dampak langsung pelemahan nilai tukar rupiah tidak terlalu banyak, karena nilai eksport dan import relatif sama. Bahkan depresiasi rupiah jika dihitung dalam persentase sebenarnya relatif kecil.
Namun demikian kata dia, dampak tidak langsung lebih besar karena untuk menstabilkan Rupiah BI menaikkan seku bunga acuan atau BI Rate, sehingga bunga kredit ikut terkerek naik. Hal ini tentunya akan meningkatkan tingkat suku bunga kredit, menurunkan aktifitas ekonomi yang akan berimbas pada penurunan pendapatan pajak. “Dampaknya terhadap ekonomi Ttergantung response BI. Jika BI rate dinaikkan secara drastis, maka pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi,” imbuh dia.
Dia mengaku, depresiasi rupiah disebabkan oleh banyak faktor. Selain oleh faktor eksternal, juga oleh trade deficit dan inflasi yang relatif tinggi. Inflasi tinggi salah satunya akibat jalur logistik yang buruk sehingga berbagai harga kebutuhan melonjak. Karena itu kata dia perbaikan infrastruktur tranportasi harus jadi prioritas. “Terkait dengan trade
defisit, kinerja ekspor harus dioptimalkan, dengan berbagai insentif fiskal, mempermudah urusan kepabeanan serta fasilitas
kredit ekspor yang kompetitif,” pungkas dia. (gam)