JAKARTA-Bank Indonesia (BI) tengah melakukan kajian terkait penyempurnaan kodifikasi Produk Perbankan Syariah sebagi pedoman pelaksanaan kredit kepemilikan rumah berbasis syariah Islam atau Musyarakan Mutanaqisah (MMQ). Langkah ini dilakukan untuk menghindari adanya spekulasi dalam penerapan MMQ dengan skema indent oleh perbankan Syariah di sektor properti. “Indent itu masih dalam perdebatan untuk mencari solusi. Kami khawatirkan justru indent bisa menyebabkan terjadinya spekulasi. Jangan sampai terlanjur pasar banyak masuk ke sana, seperti gadai emas misalnya,” kata Direktur Perbankan Syariah BI, Edy Setiadi di Jakarta, Jumat (21/6).
MMQ adalah perjanjian pengambilalihan porsi kepemilikan rumah, yaitu suatu perjanjian atau akad yang menggunakan konsep kepemilikan bersama oleh bank dan nasabah atas tanah dan bangunan.
Nasabah melakukan pembayaran secara bertahap atas aset yang dimiliki oleh bank sehingga porsi bank menjadi berkurang. Selama perpindahan tangan tersebut, bank berhak mengambil sewa aset yang dipakai oleh nasabah dengan margin yang ditentukan bank.
Sedangkan indent/pre-order adalah barang yang masih belum tersedia, bisa barang yang belum tiba atau belum ada.
Menurut Edy, skema indent pada akad MMQ sangat dimungkinkan terjadinya penyimpangan penggunaan dana transaksi. Misal, kata dia, dalam suatu akad diperjanjikan bangunan dalam 2 atau 3 tahun lagi akan mulai dibangun tapi belum ada perjanjian kapan bangunan tersebut akan selesai. Namun, uang sudah sudah diberikan oleh nasabah. Akibatnya, dimungkinkan uang tersebut tidak jelas dilarikan ke mana. “Bahkan, dikhawatirkan uang ini bukan untuk melakukan pembangunan tapi sengaja diendapkan supaya harga naik,” kata dia.
Sejauh ini, jelas Edy, transaksi pada produk ready stock (barang sudah ada) dan indent tidak secara jelas di definisikan di dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Tetapi, sekarang sedang dibahas pengertian barang sudah ada dan indent itu,” tutur Edy.
Lebih jauh Edy menuturkan, bahwa penyempurnaan kodifikasi produk syariah tersebut nantinya akan membedakan mana barang indent dan ready stock. Sehingga, kata dia, pihak perbankan tidak perlu lagi meminta izin ke BI dalam pelaksanaan akad transaksi untuk produk yang sudah masuk ke dalam buku kodifikasi. “Jadi, untuk produk-produk yang sudah dianggap generik dan tidak membawa penafsairan yang berbeda tehadap fatwa, maka produk ini yang masuk buku kodifikasi,” tandas Edy.
Sejauh ini, jelas Edy, transaksi pada produk ready stock dan indent tidak secara jelas di definisikan di dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). “Yang saya dengar itu, yang namanya jual beli memang barangnya sudah ada. Tetapi, sekarang sedang dibahas pengertian barang sudah ada dan indent itu,” tutur dia.
Sampai saat ini kata dia, BI baru mengeluarkan aturannya untuk pembiayaan perumahan dengan skema pembiayaan MMQ. Sedangkan untuk kendaraan bermotor, BI masih terus melakukan simulasi. Namun, dia tidak dapat memastikan kapan kajian MMQ kendaraan bermotor akan dilaksanakan.
Secara umum kata dia, kontribusi MMQ terhadap pembiayaan di industri perbankan syariah tidak terlalu besar. Hingga April 2013 total pembiayaan mencapai Rp 163,4 triliun atau tumbuh 50,3 % bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Porsi musyarakah sendiri per April 2013 hanya 19,7 % dari total portofolio pembiayaan perbankan syariah atau setara dengan Rp 32,28 triliun.
Porsi pembiayaan terbesar masih berasal dari murabahah, yaitu sebesar Rp 98,3 triliun atau setara dengan 60,1 % dari total pembiayaan. “Sedangkan per April total dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah mencapai Rp 158,51 triliun atau tumbuh 39 %,” pungkas dia. (gam/bud)