JAKARTA-PDI Perjuangan bertekad mengulang kembali masa kejayaannya dengan menjadi partai penguasa seperti pada jaman presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri. Keinginan tersebut bukanlah hal yang mustahil, mengingat popularitas PDI Perjuangan terus menanjak. “Kami ingin menjadi partai pemerintah di Pemilu 2014. Karena itu PDI Perjuangan harus mendapatkan suara 20%-25% agar tidak tersandera,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Maruarar Sirait di Jakarta, Minggu (1/9).
Menurut Ara-panggilan akrabnya, target PDI Perjuangan untuk meraih 25% sudah dikalkulasi secara matang. Karena dengan raihan 25% maka cukup untuk dijadikan pijakan mengusung calon presiden dan wakil presiden. Meskipun hingga kini PDI Perjuangan belum menentukan calon presiden yang akan diusung.
Ara mengaku, pada kongres PDI Perjuangan pertama dan kedua memutuskan bahwa ketua umum terpilih otomatis sebagai calon presiden. Namun berbeda dengan kongres ketiga di Bali, kata Ara, dimana calon presiden PDI Perjuangan diserahkan kepada Megawati Sukarnoputri.
Maruarar menjelaskan mengenai kriteria calon presiden dari PDI Perjuangan harus memiliki sifat nasionalis, demokrati dan dapat menyelesaikan masalah bangsa. “PDI Perjuangan harus pro rakyat, pilpres dua kader terbaik Mega- Jokowi yang tinggi surveinya. Itu potret. Survei dinamis, tergantung integritas, prestasi, pandangan publik terhadap yang bersangkutan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani menargetkan bisa menang pada Pemilu 2014 nanti. “Target PDI Perjuangan tak muluk-muluk, hanya menang pemilu di tahun 2014,” tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan, Arif Wibowo mengungkapkan tidak ada perubahan yang berarti dalam UU Pemilu. Namun, dengan sistem terbuka dalam UU Pemilu ini, maka caleg tidak bisa dikontrol oleh partai.
Kemungkinan situasi DPR ke depan dengan masih berformasi pada partai-partai dan rekruitmen caleg yang tidak akan bisa dikontrol dengan baik, partai yang tidak bisa didorong dengan optimal, maka wajah parlemen tidak akan menjadi lebih baik dari masa kini,” jelas Arif.
Diakui Arif, memang banyak kelemahan dari sistem terbuka yang mengakibatkan biaya politik makin besar. “Kelemahan sistem terbuka, sekarang kita sudah masuk pada era keterbukaan yang melibatkan banyak publik. Harus disadari dalam sistem proporsional terbuka partai juga akan menjadi keras, mengakibatkan partai punya biaya politik yang makin besar,” jelasnya. (gam/cea)