JAKARTA – Komisi II DPR meminta untuk tidak mempersoalkan pembiayaan saksi di tempat pemungutan suara (TPS) oleh pemerintah pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Pasalnya, keputusan ini sudah tepat demi menjamin pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur, dan adil. Dia pun menghimbau agar masalah ini tidak diseret ke ruang politik.
Pendapat itu dikemukakan Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa di Jakarta, Senin (27/1). “Jadi, uangnya bukan buat parpol. Ini soal teknis, jangan dibawa ke politik,” kata Agun.
Menurut politisi Partai Golkar itu, uang negara yang akan digunakan untuk membiayai saksi parpol di tiap TPS menimbulkan polemik karena terbangun opini bahwa uang tersebut dialirkan ke parpol. Padahal, kata Agun, pembiayaan saksi parpol masuk dalam pos penyelenggaraan pemilu dan sifatnya seperti pengadaan surat suara dan logistik pemilu lainnya.
Menurut dia, keputusan membiayai saksi parpol itu telah melewati proses yang sangat panjang. Seluruh pihak yang berkepentingan telah mengikuti semua tahapan pembicaraan masalah ini sampai akhirnya disepakati oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kata Agun, memang sempat menolak untuk mengelola dana untuk membiayai saksi yang nominalnya mencapai sekitar Rp 55 miliar untuk tiap partai. Namun, akhirnya Bawaslu bersedia mengelola setelah diberi pemahaman oleh Komisi II DPR bahwa anggaran ini bersifat sebagai anggaran penyelenggaraan pemilu.
Dalam rapat bersama di DPR, Bawaslu ditunjuk sebagai pengelola dana tersebut karena posisinya sebagai instrumen pengawas pemilu. Posisi Bawaslu dianggap yang paling tepat karena selain sebagai pengawas, juga bertindak sebagai penyelenggara pemilu. “Ini uang untuk saksi, pencairannya dilakukan setelah menyelesaikan tugas di TPS. By name by TPS,” ujarnya.
Agun berharap anggaran untuk saksi parpol di tiap TPS dapat menghasilkan pemilu yang jurdil dan luber. Sejalan dengan itu, ia yakin tak akan ada lagi partai yang protes pada hasil pemilu karena semuanya telah memiliki saksi di tiap TPS selama pemilu berlangsung. “Konsekuensi penyelenggaraan pemilu adalah dibiayai oleh SPBN. Nah, saksi ini juga ada dalam undang-undang, dan masuk dalam penyelenggara pemilu,” pungkasnya.
Sementara itu secara terpisah Ketua Bawaslu Muhammad menegaskan, gagasan itu pertama kali datang dari pemerintah, bukan Bawaslu. “Ide itu datangnya dari pemerintah,” ujarnya seolah tidak mauh disalahkan.
Muhammad menceritakan, wacana itu terlontar untuk pertama kalinya pada rapat koordinasi antara Menkopolhukam, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik dan dirinya pada awal Januari 2014. Dalam rapat tersebut, pemeritah menyampaikan keluhan dan harapan dari peserta pemilu soal kehadiran saksi parpol di tiap TPS. Ide ini kemudian dimatangkan antara pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Setelah dilakukan pengecekan terhadap keuangan negara, ternyata ada dana yang cukup untuk pembiayaan saksi parpol. “Pemerintah ketika mengecek kantong pemerintah, Menteri Keuangan (mengatakan) masih tersedia dana cadangan untuk pemilu. Akhirnya pemerintah sementara ini menyetujui untuk menyediakan anggaran saksi satu parpol di tiap TPS,” tegasnya.
Ketika pembahasan, lanjutnya, pihaknya hanya diminta pandangan. Menurutnya, Bawaslu adalah pihak terakhir yang dimintai pendapat soal honor saksi parpol. “Saya bilang, kalau itu disetujui dan tidak mengganggu tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kami, kalau mereka semangat objektivitas dalam pemilu, ya kenapa tidak,” ujar dia lagi.
Pemerintah sudah memutuskan untuk membayar saksi parpol yang akan ditempatkan di setiap TPS guna mengatasi ketiadaan dana parpol-parpol peserta pemilu. Jumlah dana yang dialokasikan untuk itu sebesar Rp 660 miliar.