Usai pertandingan Manchetser City melawan Arsenal, di Liga Inggris,beberapa waktu lalu, dua pemain Arsenal berkewargaan negera Jerman Per Mertesacker dan Mesut Ozil tertangkap kamera beradu mulut. Usut punya usut ternyata Mertesacker memarahi Ozil yang usai pertandingan tidak melakukan tradisi penghormatan kepada para pendukung Tim Arsenal.
Esoknya melalui jejaring sosial Mesut Ozil meminta maaf kepada para pendukung Arsenal. Ozil mengungkapkan penyesalannya tak seperti biasanya melakukan tradisi penghormatan mendatangi tribun pendukung dengan beralasan sangat kecewa atas kekalahan Timnya. Para pendukung Arsenal seperti biasa memaafkan pemain pujaannya itu.
Di Inggris dan liga-liga di Eropa, pendukung tim memang diperlakukan sangat luar biasa. Mereka dilayani, pendapatnya diperhatikan melalui mekanisme polling dan bahkan bisa sangat menentukan siapa pemain yang perlu dibeli. Termasuk juga, masukan siapa pelatih yang pantas dan layak menangani tim. Sangat luar biasa perhatian klub dan pemain pada harapan, keinginan dan suara penonton. Tentu saja, ini bukan karena penonton menjadi salah satu pendukung kelanjutan klub melalui iuran atau pembelian tiket. Apa yang terpapar itu jauh dari soal transaksi tetapi merupakan kometmen memberikan yang terbaik kepada penonton, yang tak lelah mendukung pada setiap pertandingan.
Lalu, coba bandingkan hubungan antara anggota dewan dan pemilih pemilu di negeri ini. Betapa jauh kometmen dan konsistensi perhatian para anggota dewan kepada para pemilihnya. Alih-alih perhatian pada aspirasi pemilih, berkunjungpun yang sudah difasilitasi negara dalam tiga kali setahun, kadang tidak. Banyak dari para anggota dewan memperlakukan pemilih seperti sebuah jembatan; hanya jadi pijakan dan usai dilewati menolehpun kadang tidak.
Ada ironi mendasar hubungan antara yang terjadi di Liga-Liga sepak bola itu dengan apa yang menjadi realitas sosial di negeri ini. Padahal hubungan pemilih dan anggota dewan sungguh sangat serius sehingga harus pula terjalin serius. Para pemilih saat pemilu menyerahkan kehidupannya pada para anggota dewan sehingga ada kewajiban para anggota dewan itu memperjuangkannya. Sebuah hubungan menyangkut nasib dan perkembangan kehidupan keseharian para pemilih. Sedang yang terjadi di sana hanya sebatas hiburan; ibarat artis dan penonton.
Secara logika sehat seharusnya hubungan anggota dewan dan pemilih di negeri ini jauh lebih baik dan beradab dari apa yang terjadi di “hanya” urusan hiburan bernama sepak bola itu. Jika sekedar tidak mendatangi tribun penonton saja sudah menjadi masalah, apalagi berbentuk ketakpedulian dan hanya menjadikan pemilih sebagai batu lompatan. Bahkan bersikap tidak simpati saja pada penonton lawan sudah merupakan masalah di sana.
Diperlukan penyegaran baru di pentas politik negeri ini terkait hubungan antara anggota dewan dan pemilihnya. Harus dimulai jalinan ikatan tanggungjawab yang berbasis kesadaran moral antara pemilih dan anggota dewan. Pemilih sungguh-sungguh memilih bertitik tolak kesadaran memberikan kepercayaan, para anggota dewan terpilih berperilaku atas dasar amanah, tanggunjgawab perjuangan aspirasi dan kesejahteraan kehidupan para pemilih. Tentu sangat indah.