JAKARTA-Lembaga swadaya masyarakat (LSM), Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak agar UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan segera diwujudkan dan dilaksanakan. Hal ini sangat penting diwujudkan karena didapati berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami oleh pelaku perikanan skala kecil atau tradisional.
Sekjen SNI Budi Laksana mengatakan sejumlah permasalahan itu antara lain nelayan kian sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, serta tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem.
Selain itu, lanjut dia, nelayan kerap mengalami keterbatasan modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.
Sedangkan dalam tahap melaut, cuaca ekstrem menjadi kendala terberat nelayan serta beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil) yang mengurangi tangkapan nelayan kecil. “Pembiaran terhadap pemakaian alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya jaring nelayan,” ucapnya.
Berdasarkan data SNI dan Kiara, setidaknya terdapat 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik mengatakan sektor perikanan di Indonesia harus diperkuat mengingat Indonesia segera akan menghadapi pasar tunggal ASEAN akhir 2015. Satu dari 12 sektor strategis yang akan diliberalisasi adalah perikanan. “Pemerintahan ke depan perlu memperkuat sektor pengolahan ikan,” kata Riza di Jakarta, Selasa (3/6).
Faktanya, kata dia hanya 1 dari 10 pelaku usaha perikanan di Indonesia yang bergerak dibidang pengolahan. Selebihnya berada pd level produksi dan pemasaran.
Dengan struktur tenaga kerja seperti itu, mustahil Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah produk perikanan, termasuk memperoleh manfaat dari kerjasama ekonomi ASEAN dan maupun dengan kawasan lainnya.
Dia menjelaskan, kegagalan hilirisasi produk perikanan telah memperburuk ekonomi perikanan Indonesia, bahkan lebih rendah dari Thailand maupun Vietnam. Berdasarkan KKP dalam Angka 2013, jumlah total tenaga kerja Indonesia di sektor perikanan 13,8 juta org, meliputi: produksi (tangkap dan budidaya), pengolahan, dan pemasaran. “Jika saja prioritas hilirisasi diperkuat, maka 10 juta lapangan pekerjaan baru akan tersedia dengan nilai ekonomi perikanan meningkat hingga 5 kali lipatnya,” pungkasnya.