Oleh : MH Said Abdullah*
Selama sebulan masyarakat Indonesia melalui berbagai bentuk kampanye telah mendapat informasi visi misi dua pasangan Capres/Cawapres. Berbagai argumentasi masing-masing pasangan juga diperoleh masyarakat Indonesia baik melalui media cetak, elektronik, jejaring sosial maupun yang kebetulan dapat bertemu langsung sosok pasangan Capres/Cawapes.
Di luar media legal, sebagai dampak kemajuan teknologi masyarakat Indonesia sering pula menerima serbuan informasi dari sumber yang kadang tak jelas. Ada yang anonim, blog tak jelas pemiliknya, selebaran, termasuk setengah legal seperti Obor Rakyat, sms gelap dan sejenisnya. Biasanya dari media “gelap” itu muatan informasi lebih banyak berisi hujatan, fitnah, caci maki, adu domba. Kadang yang sangat disesalkan ada dari media-media illegal mengatasnamakan komunitas agama. Agama suci, yang menjunjung kejujuran sering dijadikan label pembenaran fitnah, adu domba, caci maki dan berbagai hal buruk lainnya.
Sulit diingkari sepanjang masa kampanye Pilpres aora panas seperti sengaja ditabur untuk sebuah kepentingan sempit bernama kekuasaan. Atas nama kepentingan kekuasaan segala cara ditempuh mengabaikan nurani dan moral. “Fitnah dan kebohongan jadi hal biasa, tak peduli dosa apalagi etika. Fakta dan fiksi dicampur dan diaduk,” tutur Najwa Shihab, pada salah satu acara Mata Najwa.
Kini hiruk pikuk kampanye sudah berlalu. Masyarakat memasuki hari tenang. Dan jamaknya hari tenang merupakan kesempatan merenung, mengkaji, meneliti, mencermati apa yang terjadi di masa kampanye, lalu kemudian mengambil sikap yang diwujudkan pada saat Pilpres tanggal 9 Juli nanti. Inilah kesempatan masyarakat memilah berbagai informasi mana fitnah dan kebenaran, kejujuran dan kebohongan. Mana informasi menyesatkan dan mencerahkan, mengeruhkan dan menerangkan. Memanasi dan menenangkan.
Memilah, menyisir antara hal baik dan buruk, merugikan dan memberikan manfaat itu memiliki nilai penting agar masyarakat tak salah memilih Presiden dan Wakil Presiden. Agar yang terpilih nanti benar-benar yang terbaik, yang dari sejak awal telah menempuh jalan baik dan benar, tidak berliku-liku, tidak memanipulasi data dan fakta. Yang sungguh-sungguh membawa semangat kejujuran dan keadilan.
Masyarakat di moment hari tenang ini tentu menyadari bahwa proses menuju kekuasaan yang menggunakan segala cara, menghalalkan jalan apapun selalu menghasilkan kekuasaan yang dapat merugikan rakyat. Jika perjalanan pemilihan pemimpin jauh dari semangat kejujurn, dipenuhi prasangka dan fitnah, manipulasi, sulit berharap lahir seorang pemimpin yang dapat mengabdi sepenuhnya pada kepentingan rakyat.
Dari berbagai paparan para Capres/Cawapres selama masa kampanye masyarakat tentu dapat menilai mana yang memperlihatkan kesungguhan dan yang sekedar retorika. Yang memperlihatkan ketulusan dan yang sekedar hanya pemanis bibir. Yang sebatas berjanji dan yang sungguh-sungguh memperlihatkan itikad bekerja keras. Masyarakat Indonesia dengan ketajaman nurani dan kejernihan berpikirnya tentu dapat melihat dan menilai siapa yang nanti pada tanggal 9 Juli, layak dipilih untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.
Inilah momentum lima tahunan yang akan menentukan perjalanan bangsa dan rakyat Indonesia ke depan. Dengan pikiran jernih, mengedepankan moralitas saat memilih, akan ada harapan lahir pemimpin yang mengabdi kepada rakyat.