Oleh : MH Said Abdullah*
Kasus perbedaan hasil Quick Count pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) yang sampai saat ini menjadi perbincangn masyarakat luas mengingatkan tentang nilai ilmiah, kultur dan prinsip-prinsip mulia kaum intelektual. Betapa penting mempertahankan nilai ilmiah, obyektivitas intelektual di tengah perhelatan penuh warna warni kepentingan itu. Dampaknya sangat luar biasa bila sedikit saja nilai ilmiah tergadaikan kepentingan sesaat.
Sebenarnya dalam ilmu sosial perbedaan hasil sebuah kajian bukan hal luar biasa. Menjadi luar biasa ketika perbedaan ternyata meninggalkan jejak buram adanya pergeseran dan manipulasi nilai ilmiah. Perbedaan bukan sebuah hasil obyektif tetapi merupakan proses diduga sejak awal disiapkan berbeda termasuk bagaimana mempublikasikannya. Prinsip dan methode Ilmiah akhirnya sekedar ceremony atau bungkus kulit semata. Obyektivitas bersifat semu tergerus subyektivitas untuk kepentingan instan. Masyarakatpun menjadi korban dari sebuah kinerja yang secara normatif disebut intelektual namun pada tataran riil diduga tak lebih dari permainan utak atik angka.
Prinsip Intelektual, methode ilmiah pada akhirnya hanya sekedar memenuhi kaidah normatif semata. Sebatas bangunan imej agar terkesan obyektif dan jauh dari keberpihakan kepentingan. Hanya sebatas bangunan bayang-bayang mercusuar yang tidak menunjukkan jalan kebenaran sebaliknya malah menaburkan kekisruhan dan kegamangan sosial. Tentu saja semua itu bertolak belakang dari peran besar dan watak obyektif prinsip-prinsip intelektual.
Kini terpapar bukti di depan mata betapa besar pengaruh kinerja mereka yang disebut atau mengaku kaum intelektual itu. Sangat luar biasa signifikan dalam menentukan warna warni kehidupan kemasyarakatan.
Jika kaum intelektual mampu menempatkan diri secara obyektif dan kekuasaan memberi apresiasi memadai kehidupan sosial hampir pasti mencapai tingkat terbaik. Sebaliknya jika kaum intelektual terjerumus menjadi alat kekuasaan, sebatas legitimasi, hampir bisa dipastikan kehidupan sosial mengalami degradasi moral. Kekuasaan sangat mungkin berada dalam lorong-lorong gelap menyeret rakyat luas dalam duka dan nestapa.
Kekuasaan dan intelektual merupakan dua kutub kekuatan sosial yang bila berkolaborasi dengan melepaskan peran obyektifnya akan menaburkan awan kelabu. Sebaliknya bila kaum intelektual berada di atas pijakan ideal sebagai mercusuar dan kekuasaan memberikan ruang serta apresiasi memadai, peluang terwujudnya sebuah peradaban ideal jauh lebih terbuka.
Sejarah mencatat kejayaan sebuah dinasty selalu beriringan dengan peran intelektual di atas pijakan obyektif, menjadi mercusuar atau penerang, petunjuk jalan kebaikan. Kekuasaan apresiatif dan selalu menjadikan kaum intelektual sebagai referensi pengelolaan dan penataan kehidupan sosial. Di sinilah mengapa penting kaum intelektual tetap konsisten dan kometmen pada perannya; kekuasaan tidak memposisikan sebatas pabrik pemikiran berdasarkan pesanan kepentingan.
Dalam perjalanan sejarah manusia, memang sangat jarang kekuasaan memberi peran proporsional pada kaum intelektual. Bahkan kecenderungan banyak terjadi selalu ada godaan intens kekuasaan menggoyahkan posisi obyektif kaum intelektual. Sering muncul naluri kekuasaan berupaya merobohkan mercusuar intelektual ketika ada kontradiksi antara kepentingan kekuasaan dengan obyektivitas intelektual. Inilah ujian sesungguhnya dari kaum intelektual.