Oleh: MH. Said Abdullah*
Tanggal 31 Maret 1997, untuk pertama kalinya, film Teletubbies tayang di televisi. Film ini tak memiliki riwayat sejarah yang urgen dalam kelangsungan hidup, kecuali keceriaan sejumlah tokoh di dalamnya. Empat karakter digambarkan jenaka oleh Tinky Winky, Dipsy, Lala dan Poo. Keempat tokoh ini sering jatuh, naik turun gunung, lelah, dan di adegan yang lain, tokoh ini seringkali melakukan aksi berpelukan.
Dalam cerita pewayangan, ada tokoh Cangik dan Limbuk. Keduanya adalah rewang, pembantu dan penolong. Ngrewangi, ringan tangan, mendengar curhat, menenangkan, menyenangkan, dan mencarikan jalan keluar sang junjungan ketika menghadapi masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang rewang selalu bersama. Dalam kehidupan berbangsa, sang junjungan itu serupa rakyat, pemilik kedaulatan, di republik ini.
Pasca pengumuman pemenang pilpres 22 Juli lalu, rakyat menanti momentum Cangik dan Limbuk berpelukan untuk memberikan kesejukan. Empat tokoh dalam calon presiden dan wakil presiden bisa berperan sebagai figur dalam Teletubbies, lalu tersenyum dan berpelukan. Jika ini terjadi, rakyat memahami bahwa capres baik kalah atau menang, sama-sama berjiwa besar, menerima kekalahan dan kemenangannya masing-masing.
Fragmen itu ditunggu dan sampai saat ini belum terjadi. Prabowo serasa enggan mengakui keunggulan Jokowi. Padahal jiwa besar Prabowo akan beraura jika legowo. Namun, upaya Prabowo cs yang hendak ke Mahkamah Konstitusi (MK) harus dihormati sebagai upaya untuk menguji dugaan pilpres yang ditengara curang. Meskipun, laku ini dianggap sia-sia karena selisih angka ketertinggalannya amat jauh. Bahwa Prabowo terkesan memaksa ke MK, ini pun harus dimaklumi karena sebagai warga negara ia memiliki hak konstitusi.
Tetapi laku Prabowo ini tak sepenuhnya mendapat simpati dari internalnya. Retaknya kubu merah putih menjadi salah satu indikasi bahwa orang dalam Prabowo tidak lagi satu hati. Selain itu, ada hal yang dilupakan Prabowo sebagai kekuatan poros koalisi yang diyakininya permanen. Padahal dalam teori politik, tidak terjadi koalisi abadi sebab yang ada di semesta politik hanya kepentingan abadi. Saat koalisi kuat pada awalnya dan tak lagi menguntungkan pada akhirnya, satu per satu bersijingkat, selamatkan diri masing-masing dan ini terjadi di kubu Prabowo.
Sementara tradisi nasionalisme dalam kompetisi sepakbola antarprovinsi, di lapangan, pemain bertanding utuh dan sungguh-sungguh. Ketika pertandingan usai, untuk dan atas nama Indonesia, mereka menyatu dan tak ada lagi sekat, kecuali rekat di jagat yang sama; Indonesia.
Di lapis bawah pun, dualisme pendapat juga bertebaran. Ada simpati dan antipati dengan rencana Prabowo cs untuk beranjak ke MK. Satu pihak ingin Prabowo melakukan itu dan kubu lainnya, di internal pendukungnya, agar menerima hasil pilpres. Sebab, pesta (badai), telah berlalu dan tiba saatnya kembali ke Indonesia yang satu. Jika Prabowo-Jokowi saling berpelukan, lalu Prabowo menitipkan keinginan pada Jokowi untuk selamatkan Indonesia, situasi ini terasa lebih sejuk. Sesuai baju kebesarannya, Prabowo bisa mengadaptasi Soekarno sambil menepuk bahu Jokowi dan berkata, “Kutitipkan Indonesia ini kepadamu.” Maka, negeri ini, melihat pemimpin akur pasti akan merasa teduh. Sebab bila gajah bertarung, semut terinjak, selalu begitu. (*)
*Anggota DPR RI, asal Madura