Oleh : MH. Said Abdullah*
Ummat Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk di negeri ini baru saja merayakan Idul Fitri 1435 hijriyah. Berbagai pola perayaan mewarnai sesuai kekhasan budaya tempat masyarakat tinggal. Hampir tiap negara memiliki ciri-ciri tersendiri. Di negeri ini perayaan Idul Fitri begitu beragam sesuai kekhasan budaya masing-masing daerah. Bahkan, tak jarang dalam satu provinsi memiliki begitu banyak warna perayaan Idul Fitri, yang menggambarkan kekayaaan budaya negeri ini.
Agama Islam memang dikenal sangat lentur dalam berinteraksi dengan budaya lokal. Kehadiran agama Islam sama sekali tak menghapus budaya daerah. Berbagai akulturasi atau perkawinan budaya marak menggambarkan apresiasi Islam sekaligus keterbukaan budaya lokal dalam menerima hal-hal baru. Jadi terasa wajar ketika momen besar Idul Fitri datang, beragam budaya mewarnai sesuai kekhasan daerah.
Islam memang dikenal sebagai agama yang memberikan apresiasi pada budaya lokal. Kedatangan Islam tak pernah secara membabibuta menghancurkan budaya lokal. Selama tak bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah, berbagai budaya lokal dibiarkan berkembang. Islam kadang memberikan dorongan dan energi lebih kuat pada budaya lokal agar berkembang lebih positif.
Kelenturan Islam dalam berinteraksi dengan budaya lokal itu memang membawa warna warni keterikatan keagamaan. Keterikatan keislam di negeri ini misalnya secara karakter jauh berbeda dengan Islam di kawasan Timur Tengah. Termasuk juga keterikatan keagamaan masyarakat Jawa, agak sedikit berbeda dengan corak keterikatan masyarakat Islam di Sumatra.
Kesedian menerima perbedaan pada hal-hal furu” (ranting) lebih terbuka di negeri ini. Perbedaan-perbedaan itu sangat jauh dari kemungkinan sampai pada friksi-friksi keras apalagi sampai pertarungan kekerasan fisik, seperti di kawasan Timur Tengah. Kekerasan bernuansa agama kalau toh ada sangat kecil dan jarang serta lebih banyak karena faktor yang kadang sama sekali tak terkait ajaran agama Islam.
Keterikatan keislaman di negeri ini sebagaimana ditegaskan kalangan intelektual memang lebih moderat, kental menebarkan kesejukan. Bukan dalam pengertian ketaatannya tetapi pada sikap merespon perbedaan pemahaman keagamaan. Termasuk terhadap kalangan non-muslim, ummat Islam Indonesia sangat toleran sehingga bukan hal istimewa jika dalam keseharian hidup berdampingan.
Tahun-tahun terakhir ini bukan rahasia lagi pada bulan Ramadhan banyak masjid di negeri ini menyelenggarakan sholat taraweh dua “gelombang” yaitu taraweh 11 rakaat dan 23 rakaat. Perbedaan waktu mulai puasa dan saat lebaran pun seakan sudah merupakan hal biasa, yang menggambarkan betapa perbedaan pemahaman tak mengusik kerukunan dan kebersamaan ummat Islam Indonesia.
Dengan anatomi kultural sikap keagamaan seperti itu Indonesia menikmati kedamaian yang sungguh pantas disyukuri. Karena itu selayaknya suasana damai, tenang, aman dijaga bersama-sama, dari siapapun yang mencoba mengusiknya baik melalui pendekatan kepentingan politik maupun menebarkan pemahaman keagamaan yang cenderung mengedepankan pengentalan egoisme, kebangggaan kelompok berlebihan, serta sikap merasa benar sendiri, menyalahkan orang lain yang sedikit berbeda dan lainnya.
Damai itu indah dan mahal nilainya. Kita harus menjaganya.
*Anggota DPR RI, asal Madura