Oleh : Abrari Alzael*
Orang yang frustasi, biasanya memiliki dunia sendiri yang terasing. Orang-orang yang memiliki kepribadian labil, berkepribadian tertutup, merasa terasing dengan lingkungannya. Kelompok ini paling mudah diarahkan menjadi apa pun. Ia getting lost (kehilangan jejak) dalam hidupnya. Ketika masuk dalam kelompok tertentu, seluruh hidupnya tergadai pada pada pemimpinnya yang diyakini telah menolongnya.
Pada kelompok tertentu yang ingin mencari Tuhan, jemaah ini cenderung tertutup itu. Ia lebih rentan dipengaruhi dan digiring pada sebuah ideologi baru. Ia mudah ditakut-takuti dan ditanamkan rasa bersalah. Psikokosomatisme ini melahirkan kegilaan yang mudah menular kepada orang lain yang juga mengalami getting lost karena di dalamnya terdapat anarkhi kepatuhan kepada pemimpinnya. Kemudian, kelompok ini lekat dan terpengaruh ideologi baru didoktrin sebagai orang pilihan, harus menjalankan perintah dan jaminan surga.
Sehubungan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang belakangan ramai di negeri ini, dalam biologi disebut sebagai inversi. Ia merupakan proses perubahan fungsi atau posisi, keadaan pada kromosom yang menunjukkan adanya perpindahan tempat secara terbalik. Meskpikun, dalam konteks republik, Gus Dur sudah dengan jelas mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Dalam konteks ini, dalam kesempatan lain ia mempertanyakan, “Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?.
Problem terbesar yang dialami bangsa, termasuk bangsa ini, bukan pada aspek simbol dan bagaimana agama ditegakkan secara formalistik. Penindasan secara massif itu terjadi karena banyak pihak yang mengabaikan diri dan prilakunya secara substantif, apapun agamanya. ISIS ala Indonesia tidak memerlukan fatwa haram karena secara de facto ia sudah menjadi “barang haram”. ISIS merupakan halusinasi seseorang atau kelompok yang sedang mengalami labil hati dan karena itu, kehadirannya menjadi kontroversi.
Oleh karena itu, dibutuhkan substansi beragama dan bernegara. Dalam kehidupan beragama, seseorang menjadi tersesat ketika mengklaim diri dan kelompoknya yang paling Islam. Menjadi muslim yang baik tidak dengan sendirinya harus berjubah, berjenggot, dan merusak fasum dengan pentungan di tangan lalu berteriak Allahu Akbar. Cita rasa bernegara di republik ini seharusnya menjauhi segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme. Termasuk, pemberlakukan ajaran agama melalui negara dan hukum formal. Sebab, laku ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
Terlepas dari kemungkinan ISIS sebagai wadah untuk khilafah, sangat boleh jadi ISIS ini hanya mainan saja dari sebuah proyek besar karena ada merasa diuntungkan dengan isu ini. Dalam perjalanan kelompok tertentu yang dianggap berbahaya, selalu ada nama baru yang tiba-tiba terkenal serupa al Qaedah. Selesat mungkin ia lenyap dari keterkenalannya lalu berganti nama lain dan hari ini, ISIS. Setiap peiode, makhluk baru ini selalu ada dan bermutasi seperti film Mimic 2. Diceritakan, film yang dibintangi Thomas Jane, Saffron Burrows, dan Samuel L. Jackson ini hanya menampilkan kecoa besar yang horor dan menyerang manusia.
Tidak menutup kemungkinan, ISIS ini hanya sebuah adegan hororistik yang didesain agar menimbulkan social effect yang luar biasa. Pemeran dalam adegan ini dilakukan para psikopat dan paranoid sebagaimana film Skyline yang dibuat dengan biaya murah tetapi special effect-nya luar biasa dan tentu menguntungkan kelompok tertentu. (*)
*Budayawan Muda Madura