JAKARTA-Upaya hukum yang dilakukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan menggugat hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) diibaratkan selongsong kosong dalam sebuah pertempuran. Langkah hukum ini semakin berat karena pada saat bersamaan munculnya jargon tidak penting seperti menyebut Prabowo titisan Tuhan. Hal ini, tidak bisa diterima logika dan bukan fakta yang sah bisa digunakan di MK. “Menurut saya itu tidak perlu. Karena kan sudah jelas bahwa pertempuran di MK pelurunya cuma dua. Satu, fakta yang sah dan meyakinkan, dan yang kedua logika hukum yang juga menjadi dalil,” kata Pakar Komunikasi Politik Karim Suryadi di Jakarta Barat, Ahad (10/8).
Karim menyebut tim Prabowo-Hatta hanya memakai selongsong kosong dalam menghadapi sidang gugatan di MK. Apalagi, kata dia, munculnya jargon tak penting seperti menyebut Prabowo titisan Tuhan, tidak bisa diterima logika dan bukan fakta yang sah bisa digunakan di MK. “Fakta yang sahnya absen dan logika yang menjadi dasar hukumnya juga menjadi dalih, bukan dalil. Maka pertempuran di MK, saya kira, mereka hanya menggunakan selongsong kosong,” kata Karim.
Dia menilai, anggota tim dan simpatisan pun seperti tak mendukung penuh Prabowo-Hatta memenangkan sengketa pilpres di MK. Langkah mereka hanya ingin merebut hati Prabowo.
Sementara itu, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan menilai klaim tim Prabowo-Hatta bahwa ada kecurangan yang masif dalam Pilpres, hanyalah sebagai bentuk kegagalan menerima hasil resmi yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, hanya sebagian kecil masyarakat yang menilai pilpres berlangsung tidak jujur.
Hasil survei yang dilakukan SMRC menunjukkan sebagian besar pemilih menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur. Hanya sekitar 2,3 persen yang menyatakan tidak jujur dan bebas. “Prabowo masuk kelompok yang 2,3 persen. Hati-hati, yang menyebut pilpres tidak jujur bisa-bisa dianggap tidak bisa move on,” ucapnya.
Dia memaparkan responden yang disurvei konsisten dalam menilai pelaksanaan Pilpres 9 Juli lalu. Sebanyak 48,2 persen menilai Pilpres bebas dan jujur. Sekitar 29,7 persen menilai bebas dan jujur dengan sedikit masalah; 10,9 persen bebas dan jujur dengan banyak masalah. Hanya 2,3 persen yang menilai tidak bebas dan tidak jujur.
Pemilih pasangan Prabowo-Hatta yang disurvei juga tidak jauh berbeda dengan data keseluruhan. Sebanyak 47 persen menilai bebas dan jujur. Sekitar 27 persen menilai bebas dan jujur dengan sedikit masalah. Hanya 14 persen yang menilai bebas dan jujur dengan banyak masalah, dan 4 persennya yang menilai tidak bebas dan tidak jujur. “Sedangkan pemilih Gerindra 48 persen mengatakan pilpres sangat bebas dan jujur, 31 persen bebas dan jujur tapi ada sedikit permasalahan, 11 persen bebas dan jujur dengan banyak masalah. Tidak jujur hanya 5 persen,” terangnya.
Survei dilakukan secara nasional dengan jumlah responden awal 1.220 orang. Data yang dapat diolah sejumlah 1.041 data, dengan tingkat margin of error 3,1 persen. Responden dipilih dengan memperbandingkan data keterwakilan dapil pileg.