Oleh : Miqdad Husein
Ketika Tim Transasisi Jokowi-JK meminta pemerintahan Presiden SBY menaikkan harga BBM, beberapa kalangan mencibir sinis. Sikap itu, dianggap sebagai upaya cuci tangan dari Jokowi-JK agar nanti saat mulai bertugas tak terbebani soal terkait kepentingan rakyat banyak itu. Bagaimanapun menaikkan BBM membawa dampak luas, yang akan dirasakan langsung masyarakat terutama di akar rumput. Jokowi-JK dengan meminta pemerintah sekarang, dianggap hanya menjaga citra pemerintahannya nanti agar tetap mendapat simpati rakyat.
Pandangan dari perspektif komunikasi politik ini bisa benar bisa salah. Secara riil memang mudah memberikan tafsir sederhana itu sebagai sikap Jokowi-JK tak mau terbebani. Tertangkap kesan –sekali lagi ini dari sudut pandang komunikasi politik- Jokowi-JK ingin aman sendiri. Biarlah beban “kebencian” rakyat itu mengarah pada Presiden SBY atau pemerintah sekarang.
Namun bila dikaji lebih jauh, melihat rekam jejak dua tokoh itu tentu maksud meminta Presiden SBY yang menaikkan BBM jelas jauh dari kesan sekedar pencitraan. Baik Jokowi maupun JK selama ini sudah dikenal siap mempertaruhkan popularitasnya demi visi misi untuk kemajuan negeri ini.
Masyarakat masih ingat bahwa JK lah, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden yang mendorong kenaikan harga BBM. Ia berani menjadi bemper pemerintah demi menyelamatkan ekonomi negeri ini. Perhitungan matematis JK mengabaikan pertimbangan kepentingan pencitraan. Jokowipun memiliki rekam jejak yang tak peduli pada popularitas dan pencitraan. Saat baru terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dengan pendekatan khasnya membenahi berbagai kelakuan salah kaprah dari para pedagang kaki lima.
Masyarakat Indonesia khususnya Jakarta, akan ingat penanganan dan pembenahan pedagang kaki lima di Tanah Abang. Jokowi yang saat itu begitu populer sebagai pemimpin merakyat, demi kepentingan rakyat yang lebih luas rela dimaki-maki para pedagang kaki lima. Jokowi tak peduli. Yang ada pada pikirannya membenahi Jakarta dengan tetap memperlakukan pedagang kaki lima sebaik-baiknya. Bahwa para pedagang kaki lima yang tak setuju memaki, melontarkan kalimat sarkastis Jokowi tetap maju terus demi kepentingan yang jauh lebih besar.
Lalu apa urgensi strategis permintaan Tim Transisi Jokowi JK agar pemerintahan SBY yang menaikkan harga BBM? Sederhana sebenarnya. Ini menyangkut porsi kewenangan pemerintah SBY yang menyusun APBN 2015. Lagi-lagi terkait penyelamatan negeri ini, agar ada keadilan di tengah masyarakat. Agar subsidi BBM tak dinikmati kalangan menengah ke atas; agar subsidi benar-benar menyentuh rakyat miskin, yang jumlah riilnya lebih dari 50 persen.
Jangan lupa, sepanjang dua tahun ini pemerintah SBY memperlihatkan watak aslinya yang maju mundur dalam kebijakan terkait BBM. Entah berapa formulasi yang sempat menjadi wacana dari rencana kenaikan, pembatasan berdasarkan CC mobil, tahun pembuatan mobil, pemakaian stiker, termasuk larangan menjual BBM bersubsidi di jalan tol. Semua wacana itu terbang ke awang-awang, tanpa ada tindak lanjut, kecual larangan penjualan di Tol itupun belakangan kabarnya akan dicabut. Kasus maju mundur jauh sebelumnya juga terjadi ketika harga BBM naik dari Rp. 4500 ke Rp. 6500, yang wacananya sampai dua tahun hingga dampak psikologis pada pasar, harga naik, berulang-ulang terjadi.
Baik Jokowi maupun JK sudah memperlihatkan rekam jejak sebagai pemimpin yang mengedepankan visi misi kepentingan rakyat dan negara. Bukan asyik bermain pencitraan diri: bereaksi cepat ketika soal pribadi disinggung namun saat kepentingan rakyat dan negara terusik reaksi sangat lamban bahkan jalan di tempat.
*) Kolumnis tinggal di Jakarta