Oleh : Muh. Firdaus Rahmatullah
Selepas maghrib, rombongan manusia berduyun-duyun mengiringi jenazah Pak Polo yang akan dikebumikan. Orang-orang itu datang dari berbagai penjuru desa guna memberikan penghormatan terakhir terhadap orang yang amat sangat mereka banggakan itu. Kemuraman sepertinya merasuk ke dalam jiwa tiap orang yang mengantar jasad itu ke liang lahat.
“Segala yang berasal dari tanah akan kembali juga padanya.”
Kematian Pak Polo adalah penyebab tangis orang-orang itu tumpah. Warga desa itu kehilangan sosok pemberani sekaligus dihormati dan dicintai lantaran dialah satu-satunya orang yang menentang habis-habisan pembangunan jalan tol dan by pass, sehingga memakan tanah warga. Tak tanggung-tanggung, lahan pemakaman desa turut dibongkar dan digusur demi keberlangsungan proyek pemerentah tersebut.
“Rakyat jragane, pemerentah buruhe,” begitu yang selalu didengungkan Pak Polo agar para kontraktor itu segera angkat kaki dari tanah-sawah desa yang dipimpinnya.
“Apakah dengan pembangunan tol itu Saudara kian sejahtera? Apakah pemerentah tidak berpikir, setelah kita menjual tanah-sawah ini, lantas bekerja apa, makan apa?”
Pak Polo yang bertahun-tahun menjadi lurah, yang memimpin warganya yang mayoritas petani, tak dapat menyembunyikan amarah dan kegeramannya. Ia murka.
“Apakah mereka sudah tidak punya otak, Saudara-saudara?”
Bu Polo sesenggukan berulang kali. Lantaran suaminya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Di pelupuk matanya, airmata itu tumpah tak terbendung bendungan jiwa. Perempuan itu masih tak percaya bahwa satu-satunya lelaki yang amat sangat dicintainya mati secepat itu. Ia ingat, malam itu, ketika Juwari dan Sadeli datang ke rumah menjemput suaminya. Keduanya mengutarakan bahwa salah satu sawah warga yang dihurug oleh beberapa truk yang memuat tanah-ulayah. Mereka menyangka, pastilah itu ulah kontraktor-kontraktor begundal itu, yang ingin segera memulai proyek tol dan by pass.
“Ini sudah keterlaluan. Tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mereka sudah kebacut. Aku harus turun, Buk’e!”
“Apakah harus selarut ini, Pak’e?”
“Tidak ada waktu lagi. Masalah ini harus diselesaikan malam ini juga. Kalau perlu, Bapak akan mengusir mereka dari desa!”
“Tapi, Pak’e…”
“Tenanglah, Buk’e. Bapak janji akan segera pulang.”
Perempuan itu tak bertanya lagi. Ia mencium tangan Pak Polo dengan perasaan tak menentu. Pak Polo segera keluar rumah usai mengenakan jaket kulit berwarna hitam kesayangannya, diiringi Juwari dan Sadeli. Bu Polo tak pernah menyangka, bahwa malam itu adalah perjumpaan terakhir dengan suaminya.
* * *
Bergelombang-gelombang rombongan manusia dari berbagai dusun silih-berganti datang ke pemakaman itu. Bergelombang-gelombang pula orang-orang itu menshalati jasad Pak Polo. Dalam ingatan mereka, Pak Polo laksana Nabi Musa yang melawan Fir’aun demi melindungi umatnya dari pengejaran bala tentara maharaja itu. Pak Polo menegakkan harga diri dan martabat desanya. Ia tak ingin warga yang dipimpinnya kehilangan tanah-sawah, yang sejak dulu sudah menjadi lahan mata pencaharian leluhur-leluhur mereka, demi meluluskan keinginan pemerentah yang tak masuk akal.
“Apakah setelah mendapat uang ganti rugi, kami dapat hidup tenang tanpa pekerjaan? Sawah-sawah kami adalah darah kami, keringat kami, air mata kami, anak-anak kami, suapaya kehidupan kami tetap berlangsung. Kami tak mengenal aspal, yang kami kenal hanyalah lumpur yang dapat menyuburkan padi. Kami tak mengenal beton, yang kami kenal hanyalah ubi jalar yang ditanam di tegalan sawah secara tumpangsari. Kami tak mengenal jalan tol, yang kami kenal hanyalah rumput-rumput di sawah yang harus disiangi. Oleh karena itu, kami tak sudi menyerahkan sawah-sawah kami untuk proyek pemerentah yang selama ini tak pernah memberikan pupuk murah. Kami juga tak sudi sawah-sawah kami dijadikan bantalan mobil dan motor impor yang didatangkan dengan menggunakan uang hasil pajak sawah-sawah kami!”
Rombongan penziarah itu mengingat tatkala Pak Polo mengusir truk-truk pengangkut batu, pasir, semen, aspal, dan tanah-ulayah untuk pembangunan tol itu, serta menggulingkan kapal keruk ke kali Brantas hingga membuat kontraktor itu muntab dan hendak mempidanakan Pak Polo. Semua itu dilakukan Pak Polo agar sawah-sawah milik warganya tidak dijadikan jalan tol dan by pass. Supaya kehidupan warganya kembali tenang, menggarap sawah dengan perasaan tenang, bekerja dengan tenang, menghasilkan padi-beras yang tenang, dan dapat membiayai anak-anak mereka hingga lulus dan menjadi orang yang berguna dan berprilaku tenang. Itu saja. Tak lebih. Apalagi lebih dari itu.
Di antara gelombang-gelombang rombongan itu, Juwari dan Sadeli adalah orang yang paling bersedih. Keduanya merasa amat sangat bersalah lantaran melaporkan perkara itu pada Pak Polo malam itu. Keduanya tak menyangka, sebetulnya rencana itu sudah diatur sedemikian rupa oleh para kontraktor –tentu saja ada pejabat kota setempat yang membekengi− sehingga mencelakakan Pak Polo.
Malam itu, sejatinya Pak Polo hendak diajak berunding soal proyek pemerentah itu dan mencari win-win solution agar tak ada pihak yang dirugikan. Namun yang terjadi sebaliknya. Bak kisah penangkapan Pangeran Diponegoro, Pak Polo juga ditangkap. Tak ada yang tahu dibawa kemana. Sedang Juwari dan Sadeli diikat ditiang pancang titik nol km proyek tol dan by pass. Pagi harinya, keduanya ditemukan seorang penggembala bebek yang tengah menggiring unggas-unggasnya ke sungai. Saat senja menjelang maghrib, tatkala burung terik berombongan menuju ke timur, ketika anak-anak hendak berangkat menuju masjid, seorang tukang perahu-gethek sepuh menemukan mayat seseorang yang tersangkut di batu-batu besar kali Brantas. Semilir angin beradu adzan Maghrib menghentakkan mata lelaki tua itu. Bahwa mayat yang ditemukannya itu tak lain tak bukan adalah Pak Polo adanya.
* * *
Jombang, 26−27 Mei 2014