JAKARTA-Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) melaporkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ke Dewan Etik MK. Mantan politisi PAN itu dilaporkan lantaran pernyataannya yang mendukung pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD sebagaimana diwacanakan dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada. ”Kami melaporkan tindakan yang berpotensi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar pada 15 September di Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam sebuah diskusi,” kata Koordinator Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (23/9).
Adapun, Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri atas ILR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), PuSako Fakultas Hukum Universitas Andalas, Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Menurut Erwin, pernyataan mantan Menteri Hukum dan HAM itu sangat berpihak pada mereka yang mendukung pilkada melalui DPRD. Belum lagi, RUU Pilkada itu akan disahkan tidak lami, sehingga dikhawatirkan berpotensi memicu polemik. “Pernyataan Patrialis yang mendukung Pilkada lewat DPRD jelas pada saat konteks ini melanggar kode etik yang harusnya dipatuhinya,” ujar Erwin.
Erwin menjelaskan, ada 2 prinsip yang diduga dilanggar Patrialis, yakni kepantasan dan kesopanan yang tercantum dalam poin 2 dan poin 4 dalam Prinsip Kepantasan dan Kesopanan dan Prinsip Integritas sebagaimana diatur oleh Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Pihaknya juga menduga Patrialis melanggar poin 1 mengenai prinsip integritas. “Berangkat dari itu jelas menurut pandangan kami, ada potensi pelanggaran kode etik yamg dialukan Patrialis sebagai hakim konstitusi,” ujar Erwin.
Sebelumnya, Patrialis Akbar menilai pilkada seharusnya dilakukan oleh DPRD. Karena, pilkada memang harus diwakilkan oleh anggota parlemen di setiap daerah. “Karena sesuai dengan Pancasila sila ke-4, yaitu permusyawaratan perwakilan. Jadi demokrasi sifatnya oleh rakyat boleh melalui DPRD,” ujar Patrialis di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ciputat, Senin 15 September 2014.
Menurut Patrialis, sistem parlemen merupakan representasi dari kekuatan rakyat. Artinya, dalam pilkada memang harus dipilih DPRD yang juga merupakan perwakilan rakyat. “Tentu demokrasi perwakilan rakyat, itu tidak bertentangan juga,” ujar Patrialis.
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang, Sumatera Selatan Dr HM Idris mendesak agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh DPRD. Alasanya, Pilkada langsung oleh rakyat selama ini lebih banyak madharatnya dan tidak mendidik rakyat. Oleh karena itu, pihaknya mendesak DPR bersama pemerintah segera mengesahkan RUU Pilkada dilakukan oleh DPRD menjadi UU Pilkada. “Saya kira polemik RUU Pilkada ini harus dikembalikan kepada UU di mana Pilkada itu dipilih secara demokratis. Memang bisa dipilih oleh DPRD, juga bisa langsung oleh rakyat. Tapi, faktanya dengan Pilkada langsung selama ini justru melahirkan pemimpin yang tidak diharapkan rakyat, karena sibuk ngurus diri-sendiri dan mengabaikan rakyat dan daerahnya. Faktanya, dari 534 kepala daerah, sebanyak 372 tersangkut korupsi,” kata Idris kepada wartawan, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Selasa (23/9).
Menurut Idris, hampir 94 persen daerah terjadi ketidakharmonisan atau pecah kongsi kepala daerah dengan wakilnya terutama di akhir masa jabatannya, ketika mereka bersaing untuk maju sebagai calon kepala daerah berikutnya. Bahkan dengan Pilkada langsung itu, lebih dari 70 rakyat meninggal akibat konflik horisontal. “Jadi, Pilkada langsung ini sudah jelas banyak madharat daripada manfaatnya untuk rakyat,” tegasnya.
Politik uang dan terjadinya politik transaksional yang terbuka setiap menjelang Pilkada dan pemilu, menurut Idris, bukti pilkada langsung tidak mendidik rakyat.
Rakyat tidak lagi melihat siapa yang layak dan mampu menjadi pemimpin daerah, juga wakil rakyat, sehingga yang berkuasa adalah orang-orang yang punya uang, tumbuhnya oligarki dan dinasti politik di daerah.
“Harusnya rakyat menjadi kontrol terhadap politik uang. Yang terjadi sebaliknya. Karena itu, Universitas Muhammadiyah Palembang mendesak DPR untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD agar lebih efektif, efisien, dan lebih mudah mengontrol keterpilihan kepala daerah tersebut,” pintanya. (GAM/ABD)