Oleh : Miqdad Husein*
Saat ini sekitar dua juta ummat Islam dari berbagai penjuru dunia mulai mendekati Padang Arafah, untuk melaksanakan Wukuf. Berdasarkan informasi kemungkinan wukuf akan berlangsung bertepatan hari Jum’at yang sebagaimana diyakini ummat Islam, disebut Haji Akbar.
Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia, telah memberangkatkan sekitar 190 ribu jamaah haji. Ini menegaskan betapa sangat signifikan jumlah jamaah haji Indonesia baik dari segi persentase kehadiran di sana, maupun dibandingkan dengan realitas jumlah penduduk negeri ini. Signifikansi itu, bisa dengan mudah dilihat dari jumlah biaya, termasuk kesibukan dan kerepotan pemerintah sebagai pihak bertanggungjawab pengelolaan haji.
Di luar angka-angka kuantitatif bermuatan ekonomi, wajar dan sah bahkan harus jika kemudian ada yang mengharap keberangkatan para jamaah itu memberikan manfaat besar. Jika mengacu pada logika ekonomi cost atau investasi besar seharusnya menghasilkan keuntungan besar. Ini pikiran paling sederhana.
Tentu saja, terkait konteks haji harapan keuntungan bukan pada bentuk riil ekonomi, seperti meningkatnya investasi. Biarlah itu urusan para duta besar karena agak sulit jika berharap kepada para jamaah haji. Harapan dan keuntungan di sini lebih pada aspek moral dan sosial yang diharapkan memberikan manfaat pada seluruh masyarakat negeri ini.
Harapan itu jelas tidak mengada-ada; bukan harapan tanpa dasar. Jika menyimak ujung perintah pelaksanaan haji sebagaimana tertera dalam QS. 22: 27-28 ada kata-kata tegas “supaya para jamaah haji menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” Artinya, mereka yang berangkat jika mengikuti pesan surat al hajj itu, para jamaah haji, akan membawa sesuatu yang bermanfaat yang bisa dibagikan kepada saudara-saudaranya yang berada di tanah air. Sudah pasti bukan kurma, kacang, kismis, air zamzam, apalagi obat kuat, yang biasanya sering dijajakan oleh pedagang asongan di sana.
Konteksnya, yang barangkali sepadan diharapkan berbanding cost dan kerepotan pengelolaan haji adalah kecerdasan spiritual, SQ. Sesuatu yang sebenarnya melekat pada ajaran Islam serta potensial menjadi unsur dasar fisik dan kejiwaan manusia, yang semoga saja tergali, terungkap serta tercerahkan melalui proses pelaksanaan haji.
Yang paling sederhana dan tidak memerlukan energi pemikiran besar melalui kesadaran dan pemaknaan pakaian ihram, yang hanya dua lembar kain itu, yang dipakai seluruh jamaah haji tanpa membedakan status, kekayaan, keturunan, suku dan lainnya. Bahwa ketika berada di Arafah dengan hanya memakai dua lembar kain itu, manusia disadarkan dan dibangkitkan kecerdasan spiritualnya melalui instrumen dzikrul maut, ingat akan kematian.
Tak ada yang di bawah ketika manusia menghadap Allah selain dua lembar kain itu. Semua atribut dan asesoris ditinggalkan. Sebanyak apapun yang dimiliki dan setinggi apapun jabatannya, manusia hanya membawa dua lembar kain.
Inilah sebenarnya kecerdasan spiritual yang dianggap dipopulerkan Danah Zohar dan Ian Marshall itu. Manusia diingatkan kesadaran tentang moment ketakberdayaan yang sudah pasti akan tiba. Karena itu, ketika masih “berdaya” manfaatkan kesempatan dan apa yang dimiliki demi kemaslahan manusia.
Kesadaran makna dan manfaat bila tumbuh juga akan membangkitkan potensi kecerdasan spiritual lainnya. Manusia tak akan semena-mena. Ia akan ikhtiar dalam hidup tanpa melabrak rambu-rambu hukum. Semua selalu tertuju menggapai makna dan manfaat sehingga jauh dari merugikan siapapun.
*) Kolumnis tinggal di Jakarta