Oleh : Abrari Alzael*
Kadang-kadang, orangtua yang lupa diri bertindak tidak jauh lebih buruk dari anak-anak. Mereka mutung ketika kehendaknya tidak terwujud dan lupa pada sesuatu yang tidak masuk akal, lalu menabrak kelaziman.
Pada saat terjadi sayembara memanah di Bharatawarsha, ksatria menolak kemenangan Arjuna. Ksatria menganggap Arjuna sekelas brahmana dan tak berhak atas Drupadi. Arjuna adalah kstaria yang diragukan saat itu. Sebab, Arjuna mengenakan pakaian ala kaum brahmana. Tetapi akhirnya, Arjuna tetap berhak atas Drupadi bersama keempat saudaranya dalam pandawa lima, meski sebelumnya berdarah-darah. Karena itu, percuma ksatria lain protes karena lazim pemenang berhak atas hadiah yang dijanjikan.
Pada kisah Anggodo, ia pada mulanya ksatria. Tetapi gaya dan sikapnya, tidak berubah sebagai yang semau gue. Ia akhirnya jadi pengkhianat dan tak peduli pada Sri Rama, Raja Pancawati. Ketika Sri Rama bangkit dari singgasana dan berjalan menuju ruang keputren, Anggodo menatap Raja dengan dada yang bergetar. Rasa marah berkecamuk karena Sri Rama menugaskan Anoman untuk memimpin balatentara, bukan dirinya.
Kecemburuan inilah yang menjadikan Anggodo tidak lega dada, tidak legowo atas kenyataan politik di sekitar Raja Pancawati. Sikap politik itu pilihan yang tidak bisa dipaksakan dengan cara-cara yang tidak lazim. Anggodo merasa perlu bersekutu dengan Rahwana dan menganggap mabok sebagai prilaku yang menyelesaikan kekecewaannya. Padahal, Rahwana adalah iblis pada satu sisi meski pemilik hati yang baik di waktu yang lain, di Alengka.
Situasi di republik mutakhir, mengarah pada jaman edan sebagaimana Serat Kalatida karya Ronggowarsito. Dalam Amenange Jaman Edan, zaman edan akan muncul dimana semuanya berada dalam kondisi yang serba terbalik. Sehingga, orang yang memutuskan untuk tidak ikut “edan” tidak akan mendapat bagian.
Dalam situasi itulah, Srikandi terbayang saat memadu kasih dengan Arjuna yang tidak diketahui di mana. Ia mengubah penampilan dan berpura-pura gila untuk bisa bertemu Arjuna. Untuk menutup aib kerajaan ini, Drupadi memerintahkan Trusthajuma agar mengumumkan yang sakit jiwa bukan Srikandi melainkan Emban Mablunsari. Di akhir cerita, Mablunsari sembuh dan berubah sebagai Srikandi setelah memeluk Wara Sembadra. Sementara Arjunapati yang selama ini tak jauh darinya sebenarnya adalah Arjuna dalam penyamaran yang nyata.
Situasi mutakhir, di jaman kegilaan seperti dalam Serat Kalatida, publik hari ini tidak seperti Srikandi. Rakyat kontemporer berpura-pura menjadi gila untuk mendapatkan yang diinginkannya. Hanya, manusia kontemporer tidak berhasil sembuh seperti Srikandi karena terlanjur menusuk dan menghunjam ke kegilaan dan lupa jalan pulang.
Kondisi republiken saat ini seperti plot dalam film Who am I (dibintangi Jackie Chan). Ada pengkhianatan elit yang menyebabkan pembawa misi kebaikan ini terjatuh. Satu-satunya penumpang yang selamat hanya Jackie. Meski ia selamat tetapi ia lupa pada dirinya karena kepalanya menghantam batu saat dia terlempar dari helikopter yang disabotase. Warga Afrika memberi nama pada Jackie sebagai Whoami yang diambil dari jawaban Jackie saat ditanya siapa lalu mendapat jawaban Who am I.
Di negeri tetangga, amnesia hanya sebuah film. Sedang di negeri ini, lakon itu menjadi kenyataan baik di politik dan di luar politik. Seperti kata Ronggowarsito, banyak orang yang menjadikan dirinya sebagai gila yang sesungguhnya, tidak sembuh dan lupa jalan pulang karena terlalu menikmati peran sebagai orang gila. (*)
*) Budayawan Madura