Oleh : MH Said Abdullah*
Benar ungkapan arif yang mengatakan bahwa mengakui kekalahan sendiri dan kemenangan lawan sangat tidak mudah. Apalagi ketika dari sejak awal yang mengemuka ambisi menang. Diperlukan kekuatan moral besar untuk menerima fakta-fakta obyektif kekalahan.
Dalam pentas olah raga semangat “mengakui” relatif lebih mudah. Karena kemenangan tak bermakna berkuasa, yang membuka kesempatan mengekspresikan pemikiran yang terpendam dalam hubungan atasan dan bawahan. Menang dalam olah raga lebih memperlihatkan hasil yang kasat mata tanpa memberi kewenangan kepada pemenang untuk menganggap yang kalah berada dalam cengkraman kekuasaannya.
Sekalipun ada beberapa berpeluang diwarnai unsur subyektif namun secara keseluruhan melalui olah raga terutama yang bernuansa kompetisi riil, siapapun tak bisa mengingkari fakta siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ini memberi kemudahan meluluhkan kekerasan hati dan menenangkan diri. Yang menang tak akan jumawa, yang kalah legawa.
Di Amerika Serikat, negara demokrasi yang diakui masih menyimpan potensi rasial terkait perlakuan pada kaum kulit hitam, olah raga menjadi ajang paling mudah menuju jalan kesetaraan. Kaum kulit hitam, memanfaatkan ajang olah raga disamping seni sebagai ekspresi riil memperjuangkan kesetaran. Di olah raga seseorang benar-benar dihargai prestasinya tanpa hambatan diskriminasi ras.
Di pentas politik situasi dan kondisi psikologis seperti terjadi di bidang olah raga sungguh sulit dipenuhi. Dalam kehidupan demokrasi misalnya, ketakpuasan dari yang kalah mudah merebak menimbulkan huru hara terutama ketika kondisi masyarakat masih belum memenuhi syarat dalam melaksanakan demokrasi. Ketaksiapan ekonomi, pendidikan, sistem, serta kultur demokrasi yang masih berproses menuju kedewasaan kadang masih mudah dijadikan mainan para elit yang jauh dari sikap legawa.
Tradsi mengakui kemenangan lawan politik memang sangat mahal dan perlu waktu panjang. Amerika Serikat, negara yang disebut kampiun demokrasi perlu waktu 200 tahun lebih untuk sampai pada kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi yang mampu menenangkan masyarakat melalui ketulusan bersikap legawa bagi yang kalah, dan tidak jumawa bagi yang menang.
Di negeri ini, yang masih dalam proses mengembangkan demokrasi, secara umum memperlihatkan dinamika luar biasa. Rakyat memiliki kedewasaan sikap terutama terkait posisi pemimpin yang didukungnya. Rakyat mudah menerima kekalahan dan menghormati kemenangan para pemimpin yang bersaing dalam proses pemilihan. Keramaian dan kegairan serta kadang semangat berlebihan hanya merebak pada masa-masa kampanye. Begitu usai pemilihan, rakyat kembali dalam kebersamaan, tanpa lagi dibatasi perbedaan pilihan.
Yang menarik dicermati, ketika kedewasaan rakyat justru berkembang indah, masih ada sebagian elite kurang siap menerima kekalahan. Setelah berbagai prosedur formal perlawanan dilalui masih saja berusaha menggunakan retorika bernada provokatif yang menegaskan ketaksiapan menerima kekalahan.
Jika rakyat pasca pemilihan legawa, para pemimpin seharusnya, demi kepentingan bangsa dan negara, merobohkan pembatas bernuansa persaingan. Lalu berbaris bersama menggapai dan memperjuangkan kepentingan negara dan bangsa untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Jadi ketika kepentingan negara, bangsa dan rakyat jadi taruhan, para elite harus siap menahan diri.
*) Anggota DPR RI, asal Madura