Oleh : Miqdad Husein*
Sebagian masyarakat Indonesia mungkin akan tersenyum menyaksikan Presiden Jokowi menunduk dan bukan membalas bersikap hormat, ketika Letjen Purnawirawan Prabowo Subianto memberikan hormat secara militer saat keduanya bertemu, Jum’at, pekan lalu. “Pak Prabowo hormat, saya kaget. Saya bungkuk saja, saya bungkuk aja,” kata Jokowi di acara peluncuran buku ‘Revolusi Mental’ di Jakarta, disambut tawa hadirin.
Kejadian soal hormat menghormat juga terjadi ketika gladi bersih pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung MPR. Mungkin belajar dari pengalaman mendapat hormat secara militer sebelumnya, Presiden Jokowi sempat akan memberikan hormat secara militer kepada Ketua MPR Zulkifli Hasan. Untung niat memberikan hormat bergaya militer itu sempat dicegah. “Tidak usah pak,” jelas Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Kejadian-kejadian unik yang dialami Presiden Jokowi itu sebenarnya normal saja ketika seorang pejabat baru, memiliki latar belakang kehidupan berbeda dengan lingkungan pemerintahan. Tak hanya terkait pemahaman; soal kebiasaanpun kadang susah dihilangkan.
Jokowi yang berlatar belakang pengusaha walau sudah pernah menduduki jabatan sebagai Walikota dan Gubernur DKI Jakarta, secara jam terbang pengalaman pemerintahn memang relatif memadai. Namun ada faktor lain yang barangkali melekat pada sosok Jokowi yaitu kebiasaannya yang blusukan, ke tengah masyarakat, membuat memori protokoler kurang diperhatikan. Yang lebih dinikmati suasana kebersamaan dengan rakyat dalam gaya keseharian agaknya yang selalu secara reflek muncul seperti pada kejadian membungkuk saat bertemu Prabowo. Ia lebih fasih berada dalam suasana informal ketimbang keruwetan protokoler, yang terkadang sangat kaku.
Saat gladi bersih di Gedung MPR, Jokowi sempat meminta kepada para petugas pengawal Presiden agar tak terlalu dekat. Maksudnya, biar tidak terlalu kaku ketika bertemu komunitas rakyat. Ini bisa dipahami walau tetap untuk kepentingan keamanan Jokowi perlu juga mengikuti standar protokoler. Bagaimanapun Presiden adalah simbol negara, yang memiliki aturan protokoler, yang tak hanya terkait tata cara sosialisasi, tetapi yang lebih serius lagi menyangkut keamanan dan keselamatan.
Lepas perlunya ada titik temu antar kebiasaan Jokowi yang ingin selalu berada dalam suasana informal dengan konsistensi petugas menerapkan aturan protokoler, kepemimpinan di Indonesia agak kembali lebih bernuansa kerakyatan. Gaya Jokowi maupun Jusuf Kalla, yang juga berlatar belakang pengusaha mengisyaratkan suasana kepemimpinan yang lebih cair, jauh dari kesan kaku. Komunikasi antara pemimpin dengan rakyat tidak akan lagi kehilangan keceriaan, spontanitas dan ekspresi manusiawi.
Jawaban-jawaban berbahasa rakyat yang mudah dipahami serta jauh dari kesan menambah ketegangan agaknya akan lebih mewarnai kepemimpinan nasional lima tahun mendatang. Ekspresi dan gaya duet pemimpin Indonesia itu, melihat rekam jejak keduanya, akan lebih manusiawi; lebih humanis; alami.
Tentu, suasana yang alami, seperti air mengalir ini diharapkan benar-benar mengisyaratkan kejujuran; keadaan apa adanya. Bukan pencitraan atau sekedar untuk sebuah kepentingan instan. Semua berangkat atas dasar niat baik, terbuka, apa adanya, tanpa bumbu-bumbu pemanis.
*) Kolumnis tinggal di Jakarta