Hingar bingar kota pada pukul delapan malam, di malam minggu 11 April setahun lalu. Seorang lelaki muda memeluk mesra rindunya, menyisipkan jarinya pada kenangan indah di depan sebuah toko dompet. Matanya berbinar-binar pada sederetan dompet cantik di dalam etalase. Seakan di sana ada sebuah wajah terselip.
Lama ia berdiri mematung. Membiarkan hembusan angin kotor menerpa wajahnya yang kecoklatan. Rambutnya pun acak-acakan. Tetapi ia tak peduli. Matanya tetap menatap haru pada sederetan dompet itu. Berbagai macam bentuknya, panjang, pendek, persegi, bulat, bahkan ada yang berbentuk ‘hati.
Ia mengeryitkan dahinya, mengingat-ingat sesuatu pada malam 11 April setahun lalu. Ia masuk ke toko yang sama, dengan perasaan bahagia membuncah. Lalu memilih salah satu dari sederet dompet yang berjejer di etalase. Ia memilih dompet hitam dengan panjang 7 centi meter. Tiga resleting memisahkan setiap satu layernya. Ahh, ada juga tempat menyimpan foto di layer terakhir.
Dengan riang ia membeli dompet itu tanpa menawar pada sang penjualnya. Ia tidak melakukan tawar-menawar seperti yang dilakukan banyak orang ketika berbelanja.
“Mengapa kau tidak menawar? Padahal aku bisa menurunkan harganya,” ujar si penjual.
“Aku membelinya untuk orang tersayang. Sebagai hadiah dariku. Aku tak mau menyelipkan do’a tidak baik dari sang penjual yang tak rela dengan harga yang kumau,” ujarnya dengan lantang pada si penjual itu. Ia pun keluar dengan plastik hitam berisi dompet.
Malam itu, ia berniat baik. Namun entahlah ujungnya. Ia pulang ke kontrakannya dengan berbunga-bunga. Ia yakin dengan dompet itu sesuatu yang ajaib akan terjadi pada dirinya kelak. Tak ada yang tahu untuk apa, tetapi Tuhan sudah mencatatnya dan lelaki itu menyebutnya sebagai janji.
Dari 11 April setahun lalu hingga pertengahan Maret tahun setelahnya, ada yang rutin dilalukan olehnya. Setiap hari yang hanya beberapa saja; kadang kumal, kadang segar, kadang berbentuk pecahan yang menuntutnya sabar dengan alasan dia bisa ke sebuah kedai soto yang sering memerlukan pecahan-pecahan itu. Tentu menukarkannya untuk selembar yang kadang kumal, bertulis, dan sedikit sobek. Namun tak jarang juga yang ia dapat dari menukar berbadan mulus.
Cinta …, ya, hanyalah cinta yang mampu melakukannya. Hingga pada pertengahan Maret, dompet berbadan tiga itu sudah gemuk. Tetapi tetap terlihat cantik dan menggiurkan. Lelaki itu semakin bahagia. Dilihatnya kalender tua yang ia dapat dari seorang calon wali kota yang membagikannya dengan gratis, bersama kaus yang tertera wajah sang calon penguasa itu. Kini kaus sudah kumal, karena dia dapatkan setahun lalu dan sang calon sudah tidak lagi menyandang statusnya. Sang calon sudah sukses menjabat sebagai wali kota. Oh, ya …, dia melingkari salah satu tanggal di sana.
Pada pukul dua dini hari, pada tanggal yang sudah dia lingkari. Tubuhnya bersandar penuh kantuk pada sebuah kursi bis ekonomi yang menuju tempat kelahirannya. Ia sudah mengatur waktu seolah Tuhan pun sama, soolah Tuhan pun restu. Ia akan tiba 6 jam setelahnya, lalu dengan angkot tua yang suaranya sudah hampir merusak cuping telinga, ia akan berhenti di pangkalan becak.
Dari sanalah, lima belas menit akan mengantarkannya langsung ke sebuah jalan kecil menuju kampungnya. Ia berharap dengan menaik beca, peluhnya tidak terlalu banyak lagi bercucuran. Ia berharap ketampanannya sedikit terselamatkan dari jauhnya perjalanan pulang.
Ia terheran-heran. Ketika jalan setapak itu berubah menjadi lebar dengan batu halus. Beberapa petak sawah menghilang. Pun begitu jembatan yang dulu kayu kini berubah beton. Ah, hatinya semakin terpana. Beberapa pohon dengan baliho Pak Wali kota baru menyumbat otaknya dari rasa heran. Mungkin dialah yang membuat kampungnya berubah.
Terakhir, kakinya sampai di sebuah gubuk yang sudah berubah pula. Jantung lelaki itu berdegup keras. Mengapa gubuk pun berubah? Dan mengapa hanya gubuk itu yang berubah. Terbukti gubuk lain masih sama keadaannya seperti ketika ia pergi. Hatinya resah. Tergesa untuk mencari sebentuk hati yang dia tinggalkan pada gubuk itu. Apakah baik-baik saja?
Tangannya segera mengetuk pintu putih itu. Seorang perempuan tua keluar. Ah, kebetulan sekali. Ia mengenal perempuan itu. Mak Ijah. Seorang tukang urut juga dukun beranak yang terkenal di kampungnya. Hati lelaki muda itu lega. Mungkin saja wanita tua ini sudah kaya. Karena dialah satu-satunya yang tak pernah kekurangan tamu dari berbagai penjuru desa untuk meminta jampi-jampi. Jampi-jampi yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Maka pantas jika dalam setahun kepergiannya, rumah Mak Ijah sudah besar dan menjadi gedung.
“Mak Ijah,” Sapa lelaki itu. Ia ingin bertanya kemana perginya wanita pemilik gubuk tua yang memiliki buah hati yang menjadi buah harapannya.
“Siapa kau?”
“Ah, Mak lupa? Ini Arif, Mak. Anak almarhum Pak Karso. Boleh Arif tanya, Mak?” Wanita tua itu mengeryitkan wajanya yang keriput.
“Ah, rupanya kau. Hampir saja Mak lupa.”
“Rumah Mak sudah gedung ya, Mak. Arif takjub melihatnya. Rumahnya bagus sekali. Oh, ya Mak pasti tahu pemilik lahan ini kemana pindahnya.”
“Apa kau bilang? Ini bukan rumah Mak. Ini rumah Sumirah. Mak lagi dipanggil buat memeriksa kandungannya.”
“Sum–Sumi-rah?” lelaki itu mendesis, “kata Mak, Sumirah?”
“Iyalah. Sumirah. Kau tak tahu? Sumirah ini istri muda pak wali kota.”
Halilintar seketika menyambar muka dan seluruh tubuh lelaki itu. Ia hangus terbakar hingga menjadi patung arang di depan wanita dukun itu. Sungguh suatu mantra yang mematikan yang baru saja didengar oleh lelaki itu. Maka pada hari yang sama, pada tanggal yang masih terlingkari tinta yang sama. Ia kembali ke kota.
Hari-harinya menjadi hancur. Dompet yang ia beli dan terbungkus rapi kembali ke tempat semula pada laci lemari plastiknya. Hingga pada suatu malam, di kedai soto yang selalu ramai pengunjung, sebuah kabar hangat dibicarakan. Seorang wanita yang tengah hamil tua dijadikan tersangka atas aliran dana sesat hingga mencapai ratusan juta yang dilakukan oleh seorang wali kota yang baru saja seumur jagung memerintah.
Wanita yang pipinya dulu berona merah jambu dan mata indahnya menitikkan air mata. Wanita yang berjanji akan setia kepada pemuda pembeli dompet pada tanggal 11 April setahun lalu. Yang berjanji akan pulang dengan lembaran mulia untuk menikahinya. Halal–ya lembaran halal dari keringatnya sebagai tukang kuli panggul di pasar raya. Ah, wanita itu sedang dalam koran. Memakai baju tahanan. Dunia terlalu buruk bagi orang lugu. Terlalu keras bagi orang tak mampu.
Oleh: Zahraa Senja
Tinggal di zahraasenjaa@gmail.com