Oleh: Abrari Alzael
Budayawan
Seseorang, yang lupa, tentang siapa dirinya dan menganggap berkuasa, ia akan alpa pada dunia sekelilingnya. Kealpaan inilah yang menyebabkan kehendak berlebihan, melebihi kudratnya sebagai manusia yang fana pada akhirnya. Ia lupa bahwa sekuasa apapun seseorang ia tidak sendiri, ia butuh orang lain, ia akan mewisuda semewah apapun gaya hidupnya dengan satu kejadian; mati. Lalu untuk apa menindas, memeras, bahkan pada orang lain yang tak berdaya? Sehitler apapun dia, pastilah tidak lahir dari batu.
Dalam sekitar 260 juta jiwa penduduk republik ini, sebagian kecil mereka berkuasa di atas arasnya. Ia menjadi sesuatu yang diinginkannya lalu merasa bahagia karena telah berhasil meraihnya dengan cara sekanibal apapun. Sebagian kelompok kecil ini merasa bertahta, berharta, dan berwanita di kahyangannya, seolah-olah kematian tercerabut dari ingatannya. Pada posisi inilah sesungguhnya rakyat dibuat tidak berdaya karena ada yang menjadi perampok di sana untuk dan atas nama kebuasan diri.
Sebagian warga yang merasa berkuasa dan menganggap berbuat apa saja sebagai haknya, ialah sesungguhnya komunis yang merasa dirinya sejajar dengan tuhan. Ini fakta dan menjadi tidak ada gunanya lagi membincang agama dan tatalaksana aturan apapun, jika pada akhirnya hukum yang ia ketahui pada satu sisi dan ia injak pada saat yang sama. Rakyat teraniaya, nestapa bukan soal sistem bernegara tetapi karena ia mereinkarnasi dirinya sebagai Raja Louis yang menganggap perbuatan dirinya adalah hukum itu sendiri.
Dalam sejarah binatang, tak ada serigala yang memangsa srigala. Tetapi memangsa sesama manusia, ini terjadi pada rubaiat manusia. Omong kosong bagi rakyat yang teraniaya bila melihat kuasa hamba diterkam kanibalisme yang mewabah pada setiap kuasa anarkhi. Dus, masih adakah orang bajik dalam nuansa mayoritas hamba?
Oleh karena itu, dirasa berkewajiban bagi siapapun yang merasa dirinya sebagai manusia untuk bergegas ke depan cermin, berkaca, lalu belajar menertawakan dirinya sendiri yang tidak sempurna. Maka pada wajah ketidaksempurnaan yang dimiliki, di sinilah ia akan merasa dirinya bukan siapa-siapa, hanya bermimpi pada tidurnya yang tidak lama.
Binatangisme-kanibalis yang melekat itulah, kini menjelma monster yang menjadikan uang sebagai tuhan baru meski ia bukan segalanya. Di manakah posisi hukum saat ini manakala ia hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Tak ada lagi damai bila berdamai selalu identik dengan devisa tenaga kerja yang dipersembahkan terhadap pangkat dengan menggergaji kekuatan hukum? Dalam kegalauan diri, ia mengaku bertuhan tetapi tidak beragama. Norma dan dogma ia tikam dalam kerakusan kekuasaan subyektifnya, dengan menempatkan dirinya di atas orang lain yang tidak berdaya.
Kini, rakyat jelata menjadi yatim bukan saja ia tidak punya orangtua. Tetapi ayah dan ibunya secara geografis telah menjadi orangtua yang durhaka dengan cara menyayat, menikam, dan menenggelamkan hidup orang-orang-orang yang tidak berdaya. Maka kepada siapa lagi ingin berlindung dan meminta pengayoman, bila yang seharusnya menegakkan hukum telah menjadi gergaji dan menenggelamakannya tanpa dasar? Kini, pasal telah menjadi pasar dimana banyak orang meludah dan membuang sampah sembarangan di sana, tanpa disadari.
Tuhan, maaf meminta tolong kepadamu ketika banyak orang tak lagi bisa dipercaya. Ampunilah para durjana itu, sadarkanlah. Jika ia tidak mau insaf, tegurlah dengan caramu. Jika ia tidak sadar, tidak mau berubah serta tetap begitu (menjadi kanibal), sudilah engkau menerimanya kembali. Amien. [*]