Oleh: Miqdad Husein*
Ketika Fatin Shidqiyah Lubis memenangkan kompetisi XFactor muncul beberapa lontaran sinis. Antara lain Fatin yang memakai jilbab saat tampil dinilai menang karena sentimen primordial. SMS dukungan mengarah Fatin karena merasa ada ikatan keagamaan. Ada semacam doro-ngan emosi keterikatan keagamaan melalui simbol jilbab hingga masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam mendukung Fatin.
Selintas lontaran sinis ini memiliki dasar rasional. Apalagi ketika muncul semacam kekecewaan dari keluarga pemenang kedua, yang merasa memiliki kualitas lebih baik. Novita Dewi, yang memang memiliki jam terbang lebih panjang sebagai penyanyi, diklaim keluarga dan kerabatnya lebih layak menjadi pemenang utama kompetisi Xfactor.
Sudah tentu lintasan pikiran itu belum tentu benar. Sebab, ketertarikan pada sosok yang berada di pentas hiburan jika dicermati seringkali tak terduga. Tak peduli dia beragama apa, suku apa, masyarakat mana, jika tampil menghibur sudah pasti membuat siapapun tertarik.
Fatin mengejutkan sebenarnya bukan dari pakaian berjilbabnya. Sosok lugu dan sangat polos ini justru menghentak ketika pertama audisi membawakan lagu Grenade yang saat itu begitu populer. Yang membuat Fatin menghipnotis adalah cara menyanyikan lagu Bruno Mars itu dengan begitu sangat baik. Begitu luar biasanya sampai Bruno memajang foto Fatin di Id Facebooknya.
Rentetan penampilan Fatin pada taraf berikutnya makin membuat pononton terpesona. Kekhasan dan keunikan suaranya, kemampuan menyanyi serta kepolosannya benar-benar mempesona pemirsa. Rosa, salah seorang juri, sekali waktu usai Fatin menyanyi menanyakan, apakah pernah belajar menyanyi secara khusus. “Belum pernah,” jawab Fatin lugu. “Lha, kamu belum belajar saja sudah begitu. Apalagi nanti kalau sudah belajar serius,” komentar Rosa, tanpa bisa menyembunyikan kekagumannya.
Ada dasar rasional mengapa sosok Fatin begitu menghipnotis dan akhirnya menjadi pemenang. Penonton dari berbagai kalangan, tanpa membedakan sekat-sekat kultural dan primordial memberikan dukungan begitu bersema-ngat. Masyarakat ringan tangan mengirimkan SMS karena memang menyukai penampilan Fatin.
Ini kenyataan riil yang sering kali diingkari. Seakan masyarakat gampang saja diarahkan, dimobilisasi ke arah tertentu; termasuk dalam soal ketertarikan. Sebuah penyederhanaan yang meggambarkan pengabaian prinsip universalisme selera serta pelecehan kemampuan logika masyarakat. Bahwa selera itu seperti budaya, tak bisa dia-rahkan dan dikendalikan. Yang bisa dikendalikan biasanya ketika ada semacam faktor lain dalam bentuk traksaksi atau katakanlah seseorang mau diarahkan dengan cara dibayar.
Seperti juga Fatin, sosok Irwan yang asli Bluto Sumenep, yang kini bertarung di Academy Indosiar, sejatinya mendapat dukungan luas karena memang memiliki kemampuan menyanyi dangdut sangat baik. Suara Irwanlah yang membangkitkan dorongan masyarakat Madura dan dari daerah lain memberikan dukungan. Ikatan-ikatan kedaerahan memang ada, namun faktor utama tetap penampilan Irwan yang memang mempesona.
Percaya atau tidak, selera menikmati kemerduan seorang penyanyi tak bisa dibohongi. Seperti juga tak bisa menjejeli ke telinga pendengar lagu-lagu yang tidak menarik. Sebaliknya, tanpa dipaksa, jika lagu itu menarik, akan menggoda badan untuk bergoyang.
Mungkin saja sekali waktu pengerahan dukungan memberikan pengaruh. Namun kecil dan pada saatnya kembali pada kesadaran logika serta ketertarikan alamiah. Tubuh akan bergoyang dangdut, jika memang lagunya menarik. [*]
*) Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta.