Aku tak paham kenapa ibu tak pernah berbicara padaku. Ibu seperti berat mengeluarkan suara. Bibirnya selalu terkatup rapat.
Itu semua bukan karena ibu bisu, ia bisa bicara. Buktinya, sekarang ibu sedang terlibat pembicaraan bersama tetangga di warung gorengan, yang posisinya tepat di depan rumah. Mulut ibu sibuk mencuap-cuap, tapi aku tak bisa mendengarnya. Sebab aku hanya bisa melihatnya dari dalam rumah melalui jendela.
Aku tak tahu apa yang ibu bicarakan dengan mereka sehingga suara ketawanya begitu keras—yang disusul gelak-tawa ibu-ibu yang lain—dan bisa terdengar olehku. Tapi aku senang karena bisa melihat bagaimana raut merona ibu ketika tertawa. Ternyata ketika tertawa, ibu sangat cantik jelita. Giginya rapi, dan putih. Tak seperti gigiku yang hitam di bagian depan.
Kemudian satu persatu perempuan berdaster itu bubar, barangkali pembicaraan sudah selesai. Kulihat ibu pun melangkah menuju rumah. Aku segera menuju pintu depan dan mematung menunggu ibu.
Kreekk.
Pintu dibuka, dan aku segera menarik-narik tangan ibu. Berharap ibu mau menceritakan apa yang barusan diobrolkannya sehingga ibu tertawa senang. Tapi ibu malah menepis tanganku, dan tanpa mengucap sepatah kata pun lantas ibu melengos ke kamar mandi.
Kadang aku tak mengerti, kenapa ibu selalu saja diam. Aku memang terlahir dengan anggota tubuh yang lengkap; dua mata, dua telinga, dua tangan dan kaki, satu mulut dan hidung. Aku bisa melihat, mendengar, mencium, meraba dan berjalan. Tapi satu yang aku tak bisa, berbicara. Ya, aku tak bisa mengucap kata apa-apa. Apa mungkin semua itu karena aku yang tak bisa bicara?
Ibu selalu diam. Hanya diam, dan tetap diam.
Sering aku meneteskan air mata ketika aku mengutarakan ingin jalan-jalan, tapi Ibu diam saja. Entah ibu tak mengerti dengan isyaratku, entah pula ibu memang malu untuk membawaku jalan-jalan.
Ketika aku mengacung-acungkan mobil-mobilan milik anak tetangga, ibu lagi-lagi diam. Padahal aku yakin ibu mengerti bahwa aku ingin mobil-mobilan yang ada lampunya seperti itu. Aku berusaha bicara, tapi yang keluar hanya suara, “aaa, u, aaaa” saja dari bibirku. Lantas ibu mengangkat telunjuk, lalu menempelkan pada mulutnya. Matanya melotot, lalu pergi ke dapur.
Sekali lagi, ibu selalu diam, hanya diam, dan tetap diam.
Ibu tak pernah mau bicara walau sekedar menyuruhku makan atau mandi. Saat aku mendekati pun, lalu berisyarat ingin dibacakan dongeng olehnya, ibu diam, dan melengos pergi.
Kadang aku menyalahkan Tuhan, kenapa ia memberiku mulut tapi tak bisa aku gunakan. Kadang aku memarahi Tuhan, kenapa aku tak bisa berbicara walau sekadar mengucap kata ibu. Aku hanya bisa berbicara tanpa arti yang jelas.
Tapi nenek selalu bilang, ini gara-gara ibu yang ketika mengandungku tidak mengadakan acara empat bulanan. Tetangga yang lain bilang, ini semua karena ketika mengandung ibu memakan daging kepala ayam. Ada pula yang bilang, ibu terlalu banyak pikiran. Karena saat usia kandungan 3 bulan, bapak menikah lagi di perantauan.
Entahlah, aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Yang jelas, aku tak bisa berbicara, ibu pun tak pernah bicara padaku. Ibu hanya sibuk di dunianya sendiri. Pergi pagi untuk membuka toko bajunya di pasar, pulang ketika azan asar berkumandang. Sedang aku, hanya disuruh menonton kaset Upin-Ipin yang entah ke berapa puluh kalinya diputar.
***
Jika aku sekolah, sekarang aku duduk di bangku SD kelas tiga. Tapi ibu tak pernah mendaftarkanku ke sekolah. Apa karena aku tak bisa berbicara lalu Ibu pun enggan menyekolahkan? Aku juga berpikir demikian, bukankah jika kita sekolah maka kita akan pintar sedang anak pintar harus bisa berbicara? Ah, iya. Ibu benar sekali.
Tapi tetap saja, aku ingin sekolah seperti teman-teman yang lain. Lalu aku coba meraih tangan ibu untuk mengajarkan bagaimana cara menulis. Aku ingin belajar tapi ibu sendiri yang menjadi gurunya. Ibu diam saja, malah matanya melotot tajam.
Hanya nenek, yang setia mengajariku bagaimana caranya menulis, berhitung dan belajar tambahan.
Aku bisa tahu berapa hasil dari sepuluh tambah sepuluh. Lima tambah lima atau tujuh tambah tujuh. Tentu belajar itu sangat menyenangkan. Dan sangat gampang, karena aku bisa menghitungnya menggunakan jari kaki dan tangan.
Tapi aku tak tahu berapa hasil dari sepuluh tambah dua puluh. Jariku hanya dua puluh, lalu dari mana aku mengambil 10 jari lagi?
Aku memperlihatkan buku yang bertuliskan 10+20 pada ibu. Pasti ibu paham bahwa aku bertanya berapa hasil dari tambahan tersebut. Ibu diam, matanya melotot, kemudian melengos pergi, dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Ah, aku memang nakal. ibu terlalu capek karena baru pulang dari pasar. Harusnya aku tak membuatnya kesal. Namun aku penasaran, berapa hasil dari sepuluh tambah duapuluh? Barangkali suara ibu memang mahal, untuk menjawab pertanyaan aku pun ibu tetap saja diam. Kadang aku sedih, melihat teman-teman yang pintar sekali perkalian. Aku tak mengerti, kenapa 2 kali 5 hasilnya sepuluh. Bukankah 2 kali 5 itu hasilnya tujuh? Aku juga tak mengerti kenapa 10 bagi 2 hasilnya lima. Bukankah hasilnya delapan?
Aku bertanya pada nenek. Nenek bilang nenek tak tahu, nenek sudah lupa lagi pelajaran sekolah. Nenek memang sudah tua, umurnya 88 tahun.
Nenek juga bercerita, di sekolah memang nenek paling bandel dan bodoh. Itulah sebabnya, kenapa nenek begitu hitam sekali karena ia bukan bekerja di ruang yang dingin dan sejuk. Nenek bekerja di sawah orang, karena dulu ia bukan anak pintar.
Ah, tapi aku gak mau seperti nenek, bekerja di sawah itu panas sekali. Aku ingin jadi dokter, polisi, dan guru.
Aku tertunduk lesu, andai aku sekolah, aku pasti jadi anak yang pandai. Tapi … bukankah aku tak bisa bicara?
Aku menarik tangan ibu yang sedang mengiris bawang. Ketika kecil, ibu pasti anak yang cerdas. Aku ingin ibuku sendiri yang mengajarkanku. Jika begitu, pasti ibu tak lagi diam, ia akan berbicara padaku setiap saat. Namun, ibu malah meringis kesakitan. Tangannya terkena sayatan pisau.
Ibu malah melotot tajam, lalu pergi ke luar.
Ah, aku memang nakal sekali. Tak pantas jadi anak pintar. Aku malah menyelakakan Ibu.
Aku menangis di sudut pintu. Tersedu-sedu.
***
Ibu baru pulang dari pasar, aku dan nenek sedang menonton kaset upin-ipin. Sebenarnya sih hanya aku yang menonton, sebab mata nenek terpejam. Nenek selalu begitu, selalu tertidur jika aku ajak menonton kaset upin-upin yang sudah mulai macet.
Ibu menaruh tasnya di atas kursi, aku melihat ada sesuatu yang menyembul dari dalam tas yang resletingnya sedikit terbuka.
Kulihat ibu pergi ke kamar dan menutup pintunya. Penasaran, aku pun membuka tas ibu dan melihat sesuatu yang berbentuk persegi panjang dan banyak tombol di atasnya.
Tentu, aku senang sekali bermain alat itu. Alat yang membuat otak pintar. Aku bisa tahu berapa hasil duapuluh tambah sepuluh. Aku bisa menambahkan angka berapa saja dan menambahkannya dengan angka yang aku mau. Hasilnya panjang sekali. Aku makin tak mengerti sebenarnya apa nama alat ini. Ah, tapi aku tak mau terlalu memikirkannya. Yang jelas, aku bisa tahu hasil dari tambahan yang hasilnya tak diketahui oleh jari kaki dan tangan.
Aku berputar-putar sambil mengacungkan alat ajaib ini. Aku sekarang menjadi anak yang pandai. Tapi tiba-tiba aku pusing karena terlalu lama berputar, alat ajaib itu terjatuh ke lantai dan hancur berantakan.
Seketika Ibu keluar, nenek pun terbangun dari tidurnya.
Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara ibu. Suara yang aku rindukan dalam hidupku. Tapi kenapa suara itu begitu garang, keras dan kasar?
Aku baru tahu, ternyata suara ibu seperti itu. suara yang saat ini aku dengarkan karena aku memecahkan alat pintar punya ibu.
Jika begini, aku lebih suka Ibu diam selamanya. Karena suaranya seperti suara singa yang mengaum karena terganggu dari tidurnya.
Tapi jika aku rindu suara ibu, gampang saja. Tinggal pecahkan barang ketika ibu tidur, lalu ia akan mengaum melebihi auman dari raja hutan. [*]
Cerpen: Ade Mia
Seorang muslimah kelahiran Majalengka 21 Agustus. Hobi membaca dan berkeinginan menjadi penulis. Salah satu karya yang pernah terbit: Antologi Lelaki Pelangi. Bisa dihubungi lewat akun facebook Ademia Nurul Fuadah. Email: ademia979@gmail.com