Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta
Seorang anak perempuan memasuki ruang keluarga sebuah rumah dengan wajah datar. Ia menyerahkan dua lembar dokumen kepada ibunya. “Nih bu. Nilainya agak rendah,” tuturnya tanpa gairah. Si ibu menerima sambil tersenyum. “Kamu lulus kan?” tanya sang ibu, masih tetap tersenyum. Si anak hanya mengangguk masih tanpa gairah.
Si ibu membuka lembaran nilai dan tanda kelulusan. Lalu dengan tersenyum, “Lumayan. Relatif bagus. Kenapa kamu seperti kecewa?” tanya sang ibu sambil berdiri mendekati anaknya. “Nilai tak sesuai target,” jawabnya datar. “Tapi itu hasil kerjamu sendiri kan?” tutur sang ibu sambil memeluk pundak putrinya. “Ya dong,” jawab si anak, agak meninggi suaranya.
Si ibu makin memeluk erat pundak sang anak sambil bertutur semangat. “Hebat. Ibu bangga. Apalagi nilainya relatif bagus. Tapi yang terpenting kamu lulus sepenuhnya hasil keringat sendiri. Tidak menyontek. Tidak dapat bocoran.” Kejujuran dan kerja keras sangat berarti, lanjut sang ibu penuh kearifan.
Si anak memandang ibunya seperti tak percaya. “Ibu tak kecewa?” tanyanya. “Kenapa harus kecewa? Kamu lulus dengan hasil kerja keras sendiri. Hasil dari kerja jujur. Nilainya juga lumayan. Ibu justru akan kecewa sekali jika nilainya tinggi tapi dari hasil curang,” ujar sang ibu arif. Pelan wajah sang anak berubah cerah. Ia balik memeluk dan mencium ibunya.
“Sayang,” kata sang ibu lembut. “Mengejar nilai tinggi dalam ujian tidak salah asal melalui cara jujur. Tidak salah walau sesungguhnya bukan tujuan utama. Ujian tujuan utamanya bukan mengejar nilai tapi mengetahui seberapa jauh perkembangan kamu selama belajar. Itu tujuan utama pelaksanaan ujian,” papar sang ibu lembut. Nilai itu, lanjut sang ibu, hanya tanda atau ukuran seberapa jauh keberhasilan pelajar selama menimba ilmu di sekolah.
Masyarakat kadang salah persepsi dalam mengikuti ujian. Nilai tinggi dan kelulusan menjadi tujuan utama, lanjut sang ibu. “Jelas ini salah kaprah sehingga banyak yang berbondong-bondong berusaha kadang menggunakan cara-cara salah untuk mendapatkan nilai tinggi,” jelas sang ibu.
Yang terjadi akhirnya, lanjut sang ibu, karena menggunakan persepsi salah dan terutama yang menggunakan cara salah, tak mengetahui secara pasti seberapa jauh pengetahuannya dari perjalanan selama belajar. “Ia tak mengetahui apa kekurangan dan kelemahannya. Karena itu, ia akhirnya tidak beranjak berusaha memperbaiki atau mengejar pengetahuan yang belum dikuasainya,” jelas sang ibu.
Ketakjujuran dalam mengikuti ujian sebenarnya menjerumuskan seseorang pada ketaktahuan apa yang perlu lebih serius dipelajarinya. “Misalnya, kamu mengejar nilai tinggi matematika. Semata-mata berpikir tentang meraih nilai tinggi sehingga melakukan kecurangan. Lalu, apakah ketika nilaimu tinggi pemahaman matematikamu sesuai nilai itu. Sudah pasti tidak. Tapi jika konsentrasi belajar, berusaha memahami matematika, jika kamu paham sudah pasti nilaimu akan naik. Bahkan seandainya nilainya biasa saja, kamu mendapatkan manfaat memahami apa kelemahan dan kekuranganmu dalam memahami matematika.”
“Ujian yang jujur untuk mengetahui seberapa jauh pemahamanmu tentang pelajaran. Kelulusan tanda tahapan proses belajar menuju jenjang lebih tinggi. Bisa dibayangkan jika kamu lulus misalnya melalui kecurangan dan kamu naik ke jenjang lebih tinggi. Sudah pasti kamu akan kelabakan terutama ketika kamu tak mengetahui seberapa kemampuan kamu sebenarnya. Tidak mengetahui apa yang perlu kamu pelajari dari kekuranganmu,” papar sang ibu sambil mengajak sang anak berjalan ke meja makan. [*]