Oleh: Abrari Alzael*
Manakah yang paling berbahaya antara prostitusi yang merajalela, korupsi yang menata gama dan narkoba yang merenda semesta? Jawab dalam hati saja bila ada yang ingin mengurai problem bangsa ini. Setiap jiwa memiliki pandangan yang sama atau berbeda sama sekali. Tetapi dari tiga aspek tersebut, hukum berada di tengahnya, yang tidak tegak lurus dengan harapan; terseok.
Republik ini berada di jalur darurat multidimensi khususnya terhadap Tripetaka sebagaimana disebutkan. Di luar itu, banyak hal yang terjadi dan menjerembabkan anak bangsa. Beras sintetis, adalah salah satu dari sekian tamsil di mana kreativitas yang tidak diharapkan terjadi di sini. Orang-orang menjadi individualistis dengan menganggap orang lain sebagai manusia lain yang tidak bersaudara sesama anak bangsa.
Bila diurai, yang menjadi salah satu sebab atas aktivitas destruktif ini justru karena hukum ada pada ketiadaan yang nyaris sempurna. Lebih parah manakala oknum penegak hukum menjadi bagian dari petaka dan ini terbukti, setidaknya di India dalam sejumlah lakon film dan dramaturgi. Lalu bagaimana dengan penegak hukum di negeri ini, televisi telah memberi catatan dalam sejarah silogisme.
Fakta yang tidak terbantahkan saat ini, publik di republiken, memiliki kecendrungan untuk meniru sesuatu yang disaksikannya dalam keseharian hidup. Warga di sekitar kita, mempunyai kesenangan dalam menyaksikan lakon-lakon India mulai dari wayang Mahabarata sampai film-film mutakhir. Jika aparat India selalu terlambat di TKP, tempat kejadian perkara, maka tidak menutup kemungkinan aparat di negeri ini juga terlmabat tiba di TKP. Kalau petugas di tepian Sungai Gangga itu menjadi bagian dari mafioso apapun, tidak menutup kemungkinan petugas di bangsa ini juga terinspirasi, merujuk pada logika bahwa setiap orang memiliki kecendrungan untuk meniru sesuatu yang disaksikannya.
Mungkin saja, aparat-petugas India sedang mengalami keterjepitan dan umumnya orang terjepit, acapkali melakukan tindakan yang kalap. Cara apapun dilakukan karena menganggap kepuasan diri di atas segalanya dengan mengabaikan kepentingan orang lain meski dari bangsa yang sama. Tentu saja, hal ini terjadi karena mimpi hidupnya terlalu besar sebagai anak bangsa dan sulit berdamai dengan keadaan.
Ada gejala keberanian yang berada di luar kuasa sehingga dari sisi psikologis, warga republiken merasa halal melakukan apa saja pada hukum yang lacur. Pembiaran atas terjadinya deviasi dari perspektif yuridis ibarat orangtua yang melarang anknya merokok sementara pada saat yang sama orangtua mempertontonkan kepuasan dirinya merokok di depan anak-anaknya. Tripetaka ini pada akhirnya menjalar, menjadi endemis dan masuk menelusup pada ruang yang sangat kantrok sekalipun, kampung narkoba, prostitusi dan narkoba.
Garis hidup warga bangsa berlalu melampaui agama dan negara yang telah menggariskan pilihan-pilihan yang berdempetan dengan konsekuensi. Pada ranah hukum yang lapuk seperti tegaknya benang basah ini, menjadi pintu ma-suk bagi siapa saja yang ingin menjadi destroyer. Sehingga, kehadiran bangsa yang seharusnya berdaulat atas ekonomi dan hukum, menjadi bulan-bulanan bangsa lain dan tentu saja bangsa sendiri yang merasa lebih berkuasa dibanding yang maha kuasa.
Oleh karena itu, semangat kebangkitan untuk menjadi bangsa yang bermartabat, pasti berbeda dengan era kebangkrutan dari berbagai aspek. Slogan cinta tanah air, sayang anak, tentulah bermula dari cinta dan sayang atas diri sendiri. Namun yang terjadi dalam dekade terakhir ini, bangsa tercinta telah dirajam dan dicincang beramai-ramai baik atas nama kepentingan individu, kelompok, bahkan agama itu sendiri. Bahkan tuhan juga disayat berkali-kali, bertubi-tubi dan ia tak pernah mati. [*]
*) Budayawan Muda Madura