Oleh: MH Said Abdullah
Wakil Ketua Banggar DPR RI.
Beberapa kalangan –terutama dari lawan politik- menyebut Presiden Jokowi selalu bermain di wilayah pencitraan. Blusukan, berbagai kebijakan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sering dijadikan contoh kebiasaan pencitraan. Bahkan, mereka yang sinis selalu menyebut apapun yang dilakukan Presiden Jokowi tak lebih sekadar pencitraan.
Sinisme politik itu jelas jauh dari proporsional. Sangat tidak obyektif dilihat dari sisi apapun, termasuk dihitung tenggang waktu Jokowi menjabat sebagai Presiden, yang praktis belum genap setahun. Lalu, yang paling mendasar sinisme mengabaikan berbagai langkah besar Presiden Jokowi seperti pembenahan Pertamina, misalnya.
Di era Presiden Jokowi, masalah Petral yang selama ini dianggap sarang mafia Migas tanpa perdebatan panjang langsung dibubarkan. Dan hanya dua bulan saja, pembenahan Presiden Jokowi di Pertamina mampu menghemat anggaran hampir 300 milyar rupiah. Sesuatu yang praktis hampir mustahil dilakukan pemerintahan sebelumnya.
Coba simak dengan pikiran jernih terkait pemberantasan narkoba yang di negeri ini sudah masuk katagori bencana dasyat. Walau harus berhadapan tekanan beberapa LSM di dalam negeri serta perlawanan negara lain seperti Belanda, Australia dan Brazil, Presiden Jokowi tetap tegas dan tegar melaksanakan hukuman mati pada gembong narkoba, demi melindungi generasi muda.
Siapapun tak membayangkan ketegasan itu terjadi pada pemerintahan periode sebelum-nya. Apalagi harus berhadapan berbagai tekanan internasional. Termasuk juga perlawanan para terpidana yang memanfaatkan cela-cela hukum seperti Peninjauan Kembali (PK) berulang-ulang.
Apakah kebijakan dan sikap tegas Presiden Jokowi ini layak dan pantas disebut pencitraan? Masihkah langkah-langkah riil sangat strategis bagi kepentingan bangsa sekedar hanya permainan pencitraan? Mereka yang sinis perlu mendengar jawaban dari hati nuraninya yang paling dalam agar dapat mengedepankan pikiran obyektif.
Barangkali menarik selintas mengetahui tujuh gebrakan riil Presiden Jokowi, yang sangat serius dikerjakan sejak beliau selesai disumpah di Gedung MPR Senayan. Pertama, pemerintahan Jokowi memulai pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Dari tanggal 2 Mei 2015 dilakukan groundbreaking proyek listrik 2.000 MW di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Yogyakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan.
Kedua, program pembangunan 1 juta rumah untuk rakyat yang dimulai pada akhir April lalu melalui pembangunan dua tower Rumah Susun Sewa (Rusunawa) untuk pekerja/buruh di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Ketiga, pembangunan tol Trans Sumatra yang direncanakan akan terhubung dengan transportasi laut ‘tol laut’ di Selat Sunda hingga ke Merak, Banten.
Gebrakan keempat Proyek ruas Tol Solo (Jawa Tengah)-Kertosono (Jawa Timur) sepanjang 176,7 km yang di-groundbreaking mulai 30 April 2015 lalu oleh Presiden Jokowi. Bila sudah rampung, ruas tol terpanjang di Tol Trans Jawa akan menghubungkan Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). Kelima, pembangunan 5000 km jaringan rel kereta api, yang tentu saja memberikan dampak langsung pada perbaikan transportasi.
Keenam, program pmbangunan 49 bendungan untuk kebutuhan peningkatan kualitas pertanian; sesuatu yang ironis karena selama ini terbengkalai di negara yang mengaku agraris. Lalu terakhir adalah kejutan penunjukan 9 wanita mengisi posisi pansel KPK. Sebuah terobosan luar biasa terkait kesetaraan gender.
Masih banyak hal-hal riil yang dikerjakan Presiden Jokowi sebagai ikhtiar mewujudkan Indonesia hebat. Semua sangat gamblang dipahami dan jelas amat jauh dari sekedar pencitraan. [*]