Jali menatap kosong ke depan, tubuhnya disandarkan ke pojok gerobak becaknya. Telah lewat tengah hari belum pula seorang penumpang yang di antarnya, perutnya kerucuk-kerucuk minta diisi, namun Jali tak punya uang tuk membeli isi perutnya itu.
Jam 2 lewat seperempat, Jali baru dapat penumpang, seorang ibu bertubuh gemuk, serta tangan kiri dan kanannya menenteng pelastik hitam ukuran besar, mungkin ibu gemuk itu habis belanja keperluan dapur dari pasar tradisional itu. Tubuh kurus Jali bergerak kekiri dan kekanan menggenjot pedal becaknya, sedangkan kaus merah berlambangkan banteng bermoncong putih berhurupkan PDIP yang dikenakannya telah basah dibanjiri keringat.
Pukul 5 sore, Jali telah pulang ke rumahnya, segera mandi, mengganti kaus merah PDIP dengan kaus kuning begambar pohon beringin bertuliskan Golkar. Setelah makan, Jali kembali mengayuh pedal becaknya mengantarkan istrinya ketempat mangkal biasa.
***
“Mas becak Mas,” tawar Jali pada seorang lelaki yang sedang berjalan gontai sendirian.
Tampak lelaki itu, berdiri mematung, seperti ada hal yang hendak ditanyakan pada tukang becak di depannya, namun nampaknya ia masih canggung.
Jali yang telah berpengalaman, langsung bersepekulasi, bahwa pria ini, pria kesepian berhidung belang, karenannya jam 11 malam masih keluyuran di tempat seperti itu.
“Butuh hiburan, Mas, ya?” Jali memancing.
“Hiburan apa maksudmu?” laki-laki itu berlagak polos.
“Perempuan?”
“Boleh.”
Hati Jali sorak sorai, dalam pikiran Jali malam itu ia dapat obyekan.
“Mau yang masih segar, menengah atau yang telah layu?” Jali menawarkan.
“Hahahahaha,” laki-laki itu menjawab dengan ketawa.
“Yuk, ikut aku.”
Pria itu naik ke becak, dan Jali dengan sigap mengayuhnya. Sampailah ketempat yang dituju, tepatnya di sebuah warung remang-remang, pangkalan prostitusi esek-esek.
“Ini tempatnya, Mas,” kata Jali sambil menghentikan laju becaknya.
Pria itu pun turun.
“Berapa ongkosnya, Mas?” tanya pria itu.
“20 ribu saja. Namamu siapa Mas?”
“Nama saya Ajo,” kata pria itu sambil menyodorkan uang 10 ribuan 2 lembar.
“Nama jenengan siapa?” tanya Ajo.
“Nama saya Jali.”
“Oya, Mas Ajo perempuannya mau aku yang cari’in?” bisik Jali.
“Boleh,” jawab Ajo.
“Mas Ajo, tunggu sebentar di sini ya,” pinta Jali sambil berjalan cepat-cepat menuju keremangan.
Selang beberapa menit, Jali telah kembali, sedangkan di belakang Jali seorang perempuan berbedak tebal membuntutinya.
“Tunggu sebentar,” kata Jali pada perempuan berbedak tebal dan berpakaian serba merah itu.
“Mas Ajo, bagaimana dengan yang ini, barangnya bagus, masih segar dan sehat,” bisik Jali sambil melirikan matanya pada perempuan berbaju dan berok merah yang sedang berdiri mematung tak jauh dari tempat berdirinya Ajo dan Jali.
“Tampaknya lumayan,” kata Ajo sambil menggerayangi perempuan berpakaian serba merah itu dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan bola matanya yang kecil, namun sangat awas bila melihat perempuan.
“Harganya berapa?” tanya Ajo.
“150 ribu, sampai puas.”
“Bisa kurang nggak?”
“Biar jadi 125 ribu bagaimana?”
“Tunggu Mas aku tanya perempuannya dulu ya,” kata Jali kemudian setengah berlari menemui perempuan ber-make up tebal itu. Setelah omong-omong sebentar Jali kembali berlari kecil menghampiri Ajo dengan raut wajah sumringah.
“Kata perempuan itu oke Mas.”
Pukul 4 dini hari. Jali telah terjaga dari bilik kamarnya. Setelah Jali memastikan bahwa Tiah anak perempuannya yang masih balita itu lelap dalam tidurnya, Jali segera keluar rumah dan mengayuh becaknya, menjemput istrinya di tempat mangkal.
Tampak perempuan berpupur tebal, berpakain serba merah telah menunggu kedatangan Jali, di warung remang-remang itu, sambil menghisap rokok kereteknya. Tanpa banyak bicara perempuan berpakaian serba merah itu, naik ke atas becak Jali, Jali pun segera mengayuhnya, sambil bersiul kegirangan, sebab malam itu, dia dan istrinya, telah mengais rejeki yang lumayan banyak menurut ukuran mereka.
Hari itu, Jali meliburkan diri dari aktivitas narik becaknya. Pukul 10 siang, istri Jali belum pula bangun dari lelap tidurnya, tubuhnya yang terbungkus sarung, meringkuk seperti kucing, tergeletak di ranjang reotnya beralaskan bantal dan kasur lepet, sedang Tiah lagi asyik bermain-main sampah di luar, bersama teman-temannya.
Pukul 10 lebih tetengah jam istri Jali baru terbangun, ia segera ke kamar mandi, menanggalkan pakaian serba merahnya serta melakukan adus besar.
Jali tampak duduk pada amben yang terdapat di halaman rumahnya sambil menghisap rokok, sedangkan disamping kanannya bertengger segelas kopi hitam panas. Udara terasa menggerahkan, Jali menanggalkan kaus hijau berlambang kabah berhurupkan PPP dan menggeletakan di samping kirinya.
Istri Jali yang baru usai membersihkan badannya, menghampiri Jali.
“Mas, bagi ya rokoknya,” kata istri Jali sambil mengambil bungkus rokok yang tergeletak disebah cangkir kopi dan menyulutnya.
“Atikah, bagaimana semalam dengan Mas Ajo?” tanya Jali.
“Apanya yang bagaimana Mas?” jawab Atikah sambil menyingkirkan kaus berlambang kabah dan berhurupkan PPP itu, kemudian Atikah duduk di sebelah kiri suaminya yang hanya mengenakan kaus dalam.
“Ya, aku melakukannya tanpa sepenuhnya Mas, aku melakukan gitu-gituan sepenuh jiwaku, hanya dengan Mas doang kok,” kata Atikah sambil menyandarkan kepalanya ke pundak suaminya.
“Kenapa Mas ya, kebanyakan laki-laki, dibutakan oleh nafsu sesaat. Sehingga ia tak menyadari ketika ia meniduri perempuan seperti aku, sebenarnya lelaki itu tertipu, celakanya lagi, laki-laki itu merasa puas,” kata Atikah lagi sambil menghisap rokoknya.
Jali hanya tersenyum kecut mendengar kata-kata dari istrinya itu.
“Semalam dibayar berapa?” tanya Jali.
“Sesuai perjanjian Mas dengan Mas Ajo, aku dibayar 125 ribu. Karena kata Mas Ajo pelayannku memuaskannya, aku dapat uang tip 50 ribu, jadi semalaman uang yang kudapat 175 ribu. Lumayan banyak’kan Mas? Separuh buat makan, dan separuhnya lagi kita tabung, buat biaya sekolah Tiah anak kita. Mas sendiri dapat berapa?”
Sambil mengeha nafas Jali menjawab tanya dari istrinya itu.
“Aku dapat 20 ribu, ongkos becak dari Mas Ajo. Potong uang rokok dan makan, tinggal sisa 10 ribu, lumayanlah.”
Hari itu hari yang cukup membahagiakan bagi pasangan Jali dan Atikah. Sebab hari itu, mereka tak keteteran untuk beli beras, sayur mayur, berikut lauk pauknya. Bahkan mereka dapat menabung dari hasil jerih payah, banting tulang, peras keringat, kerja mereka. Menabung bukan untuk kaya, namun menabung untuk bekal resiko dapur beberapa hari ke depan.
Hari-hari berikutnya, Jali tetap menjalani hidup sebagai tukang becak, ia mengais rejeki dengan cara mengantarkan orang-orang, tanpa pandang bulu, entah orang itu habis dari berbelanja dari pasar tradisional, atau orang tersebut habis berbelanja dari warung remang-remang tempat mangkal istrinya dan wanita kupu-kupu malam lainnya.
Begitu pula dengan Atikah, tetap menjadi wanita penjaja cinta, mengais rejeki dengan cara, menjual diri dan tubuhnya pada para lelaki hidung belang.
Atikah dan Jali, melakukan pekerjaan dengan sepenuh hatinya, demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Dalam kamus hidup mereka tidak mengenal pahala dan dosa. Dalam buku besar catatan hidup mereka tak mengenal surga dan neraka. Yang mereka yakini bahwa Tuhan itu ada. Yang mereka tahu hidup harus bekerja, sebab bila tak bekerja berarti tak makan, dan bila tak makan, berarti kematian.
Yogyakarta, 14 April 2015
Cerpen: Puntadewa
Nama pena dari AGUS HIPLUNUDIN, dilahirkan di Lebak Banten, 5 Januari 1986, dari SD hingga SMU bersekolah di Lebak Banten. Alumni FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), sekarang lagi menempuh Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ketahanan Nasional.