Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta.
Ayat Al Quran yang menegaskan Allah tak akan merobah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merobahnya memberi gambaran tegas nilai penting kesadaran dan kemandirian internal manusia. Bahwa tak ada kekuatan yang dapat merobah nasib manusia kecuali manusia itu sendiri. Orang lain, kondisi sosial, kebijakan publik dan lainnya hanya menjadi faktor penunjang.
Cendikiawan Muslim Jalaluddin Rachmat pernah mengingatkan bahwa seringkali kemiskinan justru betah menyelimuti seseorang karena perilaku sendiri. Etos rendah, logika mampet, kreativitas kering, keterampilan rendah dan yang lebih parah tak ada gairah belajar. Keadaan dinikmatinya atas dasar persepsi salah tentang pasrah. Kadang merasa melaksanakan sikap tawakkal. Lha, tawakkal kok tanpa ikhtiar.
Muara dari semua itu umumnya terkait rendahnya kualitas pendidikan sehingga kacau balau memahami masalah hidup. Solusipun sering jauh dari sasaran. Di sini terasa urgensi pendidikan; termasuk terkait kemampuan keterampilan sebagai bekal lanjutan ketika memasuki persoalan teknis.
Menarik mengingat komentar Nelson Mandela ketika berbicara tentang kemiskinan. Tokoh dan pemimpin dunia terkemuka itu tegas mengatakan bahwa penidikan merupakan alat paling ampuh memutus rantai kemiskinan. “Pendidikan adalah senjata paling mematikan, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia” tegas Nelson Mandela.
Sudah pasti pernyataan Mandela tak hanya menyangkut pendidikan dalam pengertian formal. Bahwa pendidikan formal yang diikuti peningkatan kemampuan teknis penting tak terbantahkan. Namun pendidikan di sini tertuju pada kesadaran pemahaman dan kemampuan pemikiran pada berbagai persoalan. Pintu-pintu pendidikan formal hanya sebagian alat pengembangan pendidikan sebagai kanal kesadaran pemahaman dan kemampuan pemikiran.
Seorang nelayan miskin yang memiliki kesadaran pemahaman dan kemampuan pemikiran tentang masalah kehidupan tak akan mewariskan nasibnya pada sang anak. Ia akan berusaha keras mendorong sang anak menempuh jalan apapun untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui alat bernama pendidikan formal. Bisa jadi nelayan itu memiliki pendidikan formal rendah. Tapi lanskap pemikirannya sudah melampaui tingkatan pendidikan formalnya.
Benar ungkapan bahwa pendidikan subtansinya bukan jenjang pendidikan formal, deretan gelar tapi kesadaran belajar dalam perjalanan mengarungi kehidupan. Berproses terus menerus tanpa batasan gedung tinggi.
Sejalan dengan kata-kata bijak bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman yang tentu saja diresapi, dipahami dan bukan hanya lewat begitu saja.
Mungkin saja berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif tingkat pendidikan masyarakat negeri ini meningkat relatif baik. Namun masih sangat terasa masyarakat belum mampu menancapkan kaki pada subtansi pendidikan yang mampu mengembangkan serta menumbuhkan kesadaran pemahaman dan pemikiran tentang proses kehidupan. Karena itu tak aneh bila bangsa ini mudah sekali terpeleset pada lobang yang sama lebih dari sekali.
Ketika situasi kekinian dianggap kurang baik, muncul pemikiran kembali ke masa lalu. Tragis sudah pasti. Kembali ke masalah lalu saja sudah masalah apalagi ketika kembali ingin mengulang masa lalu yang terbukti menimbulkan luka dan nestapa.
Jika ada masa sulit di era kekinian sah saja berusaha keras melepaskan diri dengan segala daya. Belajar dari masa lalu boleh saja agar hari ini lebih baik dari kemaren dan hari esok lebih baik dari hari ini. [*]