Penuh gesa, Muzammil memasukkan kresek ukuran sedang ke dalam tas hitam legam. Dengan cepat pula ia katupkan kedua reslesting sebelum aksinya kepergok warga.
Matanya awas takut ada yang melihat.
Benar saja. Belum berapa tindak Muzammil meninggalkan tempat itu, langkahnya terhenti oleh teguran seseorang yang muncul dari belakang.
“Apa yang kau bawa?” suara itu berat.
Muzammil tak segera menjawab. Tertegun. Bagaimana mungkin jam segini masih ada yang bangun, pikirnya. Keringat dingin mulai menyerang. Pria bertubuh tegap mendatanginya. Ia mengulang pertanyaannya. Yang ditanya tetap diam. Hanya tubuhnya sedikit bergeser, berusaha menghindar.
“Mau pergi kemana, kau?! Heiii… berhenti aku bilang!!!”
Muzammil mempercepat langkahnya, lari menyibak gelap.
Curiga akan tingkah Muzammil, pria tegap tadi mengejarnya sembari teriak, “Maling… maling… malinggg…!!!”
Warga yang mendengar teriakan itu berhamburan, sigap menyergap Muzammil. Kalau tak segera dicegah kepala kampung, besar kemungkinan Muzammil babak belur. Ia digelandang ke kantor polisi setempat.
Setelah rumah Pak Carik—tiga hari lalu—disatroni maling dan berhasil menggondol perhiasan milik istrinya, warga meningkatkan kewaspadaan dengan mengadakan ronda. Kegiatan yang sudah lama ditiadakan.
Subaidi, sepupu Muzammil tak menyangka saudaranya yang dikenal baik dan alim—sepuluh tahun merantau ke Yogyakarta—pulang-pulang hanya untuk mencuri di pondok pesantren tempat dulu mereka menuntut ilmu agama.
Siang tadi Subaidi bertemu sepupunya itu. Muzammil mengunjungi rumahnya sekaligus berpamitan. Esok hari, pagi-pagi benar, mau balik ke Yogya.
Kepada polisi Muzammil bersikukuh menyangkal dirinya bukan pencuri. Tas hitam ia peluk erat. Sekali-sekali keder juga nyalinya ketika seorang polisi menghardiknya dan menggebrak meja. Polisi itu mencak-mencak sebab Muzammil tetap tak mau mengaku.
“Kamu pasti bagian dari komplotan tempo hari yang membobol rumah Pak Carik?!”
“Aku bukan pencuri. Demi Allah aku bukan pencuri!!!” elak Muzammil.
***
“Nanti malam aku mau pulang, Dik.” bilang Muzammil pada istrinya suatu pagi. Ia membelai perut buncit istrinya. Ingin rasanya mengajak serta istrinya pulang mengunjungi famili di Madura. Sudah lama istrinya tak bertandang ke kampung halaman Muzammil. Terakhir saat bapaknya meninggal, dua tahun silam. Tapi mengingat perut istrinya makin lama makin besar, ia urungkan niat itu. Ia khawatir terjadi apa-apa di jalan.
“Takkan lama, Sayang,” hibur Muzammil. “Paling lama dua hari….” ujar Muzammil.
Dalam hati isrtinya bertanya-tanya kenapa sang suami mendadak ingin pulang.
“Kenapa Kakak tiba-tiba ingin pulang? Ibu sakit lagi?!” lirih suara perempuan berbadan dua itu, hampir tak terdengar. Cemas terlukis jelas di wajahnya.
Sambil menyesap kopi bikinan bininya, setengah menggoda demi mencairkan suasana, Muzammil menjawab, “Ibu sehat-sehat saja. Kakak ingin sungkem dan minta maaf atas segala khilaf. Bukankah sebentar lagi puasa? Kakak juga akan memintakan doa buat kesehatan, keselamatanmu dan bayi yang tengah kau kandung. Tak lama Kakak di sana. Lagi pula, mana tahan Kakak lama-lama berpisah dengan Adikku tersayang…,” sekejap hilang cemas di wajah istrinya, berganti merah jambu di pipi. Zahra nama perempuan yang sekarang tertunduk menahan malu.
“Dasar laki-laki… sama saja. Pandai nge-gombal,” rajuk Zahra, manja. Ia cubit lengan suaminya. Tanpa jeda, ia berlari ke dalam rumah. Tiada kuasa lebih lama lagi menampakkan pipi merahnya pada sang suami.
“Ego perempuan,” gumam Muzammil. “Tak mau mengaku suka dirayu.”
Muzammil melirik Zahra yang tengah melipat baju. Getir hatinya tiba-tiba. Bukan bermaksud membohongi Zahra dengan tidak memberi tahu asalan sebenarnya kenapa ia mendadak ingin pulang.
“Maafkan Kakak, Zahra….”
***
Hampir tiga jam Muzammil diintrogasi. Belum juga mengaku polisi itu membongkar paksa tas Muzammil.
“Gila kamu!!!” umpat Pak Polisi setelah mengetahui benda dalam tas dan pengakuan aneh Muzammil.
Kepada polisi dan segenap warga yang menyaksikan, Muzammil menjelaskan kalau dirinya saat ini sedang mendirikan pondok pesantren Nurul Ummah di daerah Bantul, Yogyakarta. Tujuan ia mengambil tanah di Pondok Pesantren Syeikhona Kholil, tempat dulu ia belajar ilmu agama, ialah agar pondok pesantren yang ia rintis mendapat karomah Mbah Kholil.
“Ngawur! Bagaimana mungkin tanah bisa dinikahkan dengan tanah ? Nikah itu lelaki dan perempuan.” Sergah seorang warga.
“Sudah penjarakan saja dia!!!” sahut lainnya.
Muzammil diam. Tak ingin dianggap makin gila, lantas bergumam tak jelas: siapa bilang hanya lelaki dan perempuan yang boleh nikah? Pemerintah-rakyat harus menikah; petani dan sawah adalah suami istri; manusia dan alam terikat dalam janji suci pernikahan. Mereka tak boleh semena-mena memperkosa alam. Bahkan, Tuhan ‘suami’ sah makhluk seluruh alam.
Karena Tidak ada alasan signifikan polisi menahannya lebih lama lagi, akhirnya Muzammil dibebaskan tanpa syarat. Ia bilang sedang ditunggu istrinya yang hamil tua, jadi harus segera kembali ke Yogya.
***
Disaksikan Pak Lurah dan jajarannya, serta para tetangga kanan-kiri Muzammil dengan khidmat menikahkan beberapa genggam tanah Ponpes Syeikhona Kholil dengan tanah Bantul tempat ia membangun Ponpes Nurul Ummah.
“Saya nikahkan engkau tanah Pondok Pesantren Syeikhona Kholil, Demangan, Bangkalan, Madura dengan tanah Sewon, Bantul, Yogyakarta…. Bagaimana, sah?”
“Sah!”
Para saksi serempak mengangguk meski menyisakan seribu pertanyaan atas keganjilan kelakukan Muzammil.
Dengan anggun Muzammil menancapkan tanah yang ia bawa dari pondok Syeikhona Kholil dengan tanah tempat membangun pondok. Muzammil mengangkat kedua tangan dan diikuti hadirin. Ia mulai melafalkan puja-puji doa kehadirat Tuhan Yang Mahaesa. Tuhan sekalian alam.
Yogyakarta-Sumenep, Mei-Juni 2015
Cerpen: Em Hamidi
Nama pena dari Moh. Ali al Hamidi. Penyuka dunia sastra ini, sekarang berdomisili di Yogyakarta. Tulisan humornya bisa dibaca di IniLiverpool.com-Cak Kembul. Email: madura1988@gmail.com