Statis! Pagi ini aku berada di ruang tunggu dengan dirajam gelisah pada jarum jam yang tak mau bergerak lebih cepat dari yang aku harap. Sesegera mungkin aku ingin meletakkan tubuhku di kursi mobil untuk segera tiba di kotaku. Awan seperti membaca gelisahku dan kemudian menggodaku, jutaan tetes air terpelanting ke bumi dengan keras. Ah, semoga hujan ini tak memperpanjang durasi dudukku di ruang tunggu itu.
***
Aku mengenal seseorang. Kenal, bukan sekedar tahu. Karena entah bagaimana, ia membuatku merasa mengenalnya. Untuk menggambarkan sosoknya, harus kugunakan segala kontradiksi yang membingungkan. Ia seperti buku yang terbuka, dengan tiap-tiap halaman menyajikan alur yang tak tertebak. Ia pintu yang tak dikunci, tapi tertutup rapat. Ia seorang pecinta kata, yang kaya kosakata. Raut wajahnya tak miskin ekspresi. Dalam obrolan kami yang langka, ia pun kerap menjelma jadi jenaka. Itu lucu sekali. Betapa aku juga menunggu kesempatan untuk sungguhan mengenalnya, bukan hanya merasa.Tapi seingin-inginnya aku,aku lebih takut candu.
Lucu, mengingat bagaimana perjumpaan pertama. Pertemuan kami bermula saat acara Dies Natalis Kampus. Ia diundang untuk membacakan puisi milik Sutardji Calzoum Bachri. Perayaan puisi telah seolah menjadi event agung yang selalu dinanti-nanti. Sementara aku sebagai pembawa acara kala itu. Jika saja tak ada kerja sama Fakultas Sastra dengan fakultasku, aku tak mungkin bisa berpartisipasi di acara ini.
Aku mengejarnya ketika kulihat beberapa lembar kertas ia tinggalkan begitu saja. kupikir itu penting.
“Oh, thank you”.
“Bitte!”, Aku sempat mendengar dia sedikit bisa berbahasa Jerman. Maka iseng kujawab dengan Bahasa serupa. Agaknya dia kaget mendengar jawabanku. Ia urung pergi, malah menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya.
“Sprechen Sie Deutsch?”tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar bahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
“Ja”, jawabku seraya mengangguk. Kalau sekadar bercakap dengan bahasa Jerman tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.
“Kamu pembawa acara tadi kan?”
“Ja. Mein name ist Zilda Hanum.” Jawabku sambil memperkenalkan nama.
“Mein name ist Afrizal Malna”, sahutnya.
***
Benar, mungkin aku kagum padamu…. Kagum yang yang telah tak wajar, kagum yang telah lebih dari kata kagum, simpati yang teramat, selanjutnya kuprediksi akan ada rasa empati pada kondisiku sendiri karena rasa ini. Mesti bagaimana? Kecuali bertahan sambil mencoba menemukan celah membuang rasa kagum ini agar tak perlu ada yang berubah. Aku masih bingung sebab aku mulai paham bahwa rasa ini tak bisa kubuang pada celah manapun. Aku mencoba menggunting awan-awan harapan pada anganku dan kutemukan luka menganga dinuraniku sendiri. Lalu mesti bagaimana? Aku bingung, tenggelam dalam arus rasa yang semakin kubuang semakin berlipat ganda.
Bertahan, bukanlah pilihan. Lapuk tanpa perlawanan sama halnya dengan bunuh diri tapi tak mati-mati. Menawan diri dalam ketidak mengertian, maka benar, aku mesti membiarkan jejak semua senyummu terhapus air hujan. Dan yang terlihat sekarang, hujan menjadikan jejak yang lusuh seakan peta! Peta khayalanku berlayar pada pulau senyum terindahmu yang tak jarang jadikan aku putus asa.
Tak terjawab, aku semakin tidak mengerti, aku menjumpai banyak harapan tertindas disini, dikota sukmaku. Belum lagi orasi yang diteriakkan oleh suara batin. Kau mana peduli, dan biarkan tak peduli, jangan pernah peduli.Benar, yang kutulis pada awal kisah ini, aku statis! Dan seperti saat ini ketika aku memutuskan untuk pergi, aku terdampar pada segala naas yang terdapat disemua tikungannya. I wish you were here, now!Kemana aku mesti malangkah, ketika kau menjadi tujuannya?
***
Mataku mengerjap-ngerjap melihat jendela mobil yang berembun sehabis hujan. Kilatan cahaya kota dan juga mobil yang melintas di jalanan semakin menambah nuansa melankoli. Dengan dingin, dengan jalan yang masih terlihat basah di malam hari, mobil kami melintasi jalanan yang mencipta genangan-genangan sisa hujan tadi. Seorang perempuan disebelahku sekali-kali menoleh kearahku. Sepanjang perjalanan tadi, tiap kilometernya mengantarkanku pada luka sekaligus rindu yang pernah kupaksa menyepi. Hingga tak terasa perjalanan panjang ini sudah membawaku pergi jauh.
“Kau tak mengantuk Zilda? Sejak awal perjalanan, kakak perhatikan kau hanya melamun”.
“Harusnya kau senang. Bukankah Jogja selalu menjadi tempatmu berpulang?”. Katanya lagi sebelum dibalas dengan anggukanku. Berdamai dengan hatiku, tak kuberi celah tuk meletakan lagi segalamu yang pernah begitu menyenangkan. [*]
Cerpen: Indina zulfa Ilahi
Perempuan Senja asal Kecamatan Lenteng yang kini Aktif di Bintang Sembilan dan bergiat di Aliansi Penulis Inspiratif (API) Sumenep.