
PROBOLINGGO, koranmadura.com – Sejumlah pengrajin keramik Kota Probolinggo, sesak napas. Penyebabnya, selain harga bahan naik, kurs dolar sudah di angka Rp 14 ribuan satu dolarnya. Menghadapi permasalahan klasik itu, mereka hanya bisa bertahan. Manaikkan harga bukan solusi yang tepat. Malah jika itu dilakukan, perusahaannya akan kehilangan pembeli.
Hal itu diungkap pengrajin keramik, Edi Cahyo Purnomo (48), kepada wartawan, Selasa (25/8). Menurutnya, kondisi seperti itu dirasakan sejak April lalu, saat pemerintah ramai-ramai menaikkan elpiji non subsidi. Ia terpaksa beralih menggunakan gas elpiji dari 50 kg ke 12 kg. Meningat, harga elpiji 50 kg yang awalnya Rp 450 ribu naik menjadi Rp 800 ribu.
Biaya produksi pembuatan keramik ternyata tambah membengkak, setelah bahan baku keramik naik, bahkan kondisi tersebut diperparah dengan naik-nya BBM. Derita itu berlanjut, tatkala kurs dolar terhadap rupiah merangkak naik. Menghadapi hal tersebut, apa yang dilakukan Edi. “Menaikkan harga bukan solusi. kita bertahan diharga jual. Konsekwensinya, penghasilan berkurang hingga 40 persen,” aku Edi.
Tidak hanya dirinya yang mengalami persoalan seperti itu, kata Edi, pengusaha lain yang tergabung dalam Forda UKM juga bernasib sama. Namun persoalan diatas tidak berpengaruh terhadap omzet penjualan.
“Permintaan terhadap keramik buatannya tetap alias tidak berubah. Hanya saja pendapatan yang berkurang, dari semula Rp 60 juta penghasilan kotor tiap bulan, turun menjadi sekitar Rp 40 juta,”ucapnya.
Untuk mengangkat penghasilan yang hilang akibat harga naik, pengrajin yang tinggal di Jalan Cangkring Kelurahan Kanigaran Kecamatan Kanigaran ini mencari terobosan baru, dengan menciptakan produk baru yang belum dirambah pengrajin lain. Hanya saja upaya itu hanya bisa mengemmbalikan penghasilannya 10 persen dari 40 persen pendapatannya yang hilang. “Kalau dipikir serius kita bisa stres. Anggap saja ini sebuah dinamika,” kata Edi.
Untuk bahan baku yang harganya mengikuti kurs dolar, lanjut Edi, di antaranya glasir atau pengkilat dan pewarna. Dua bahan itu merupakan bahan inpor. Saat ditanya, mengapa tidak membeli buatan dalam negeri saja, pria yang memiliki dua anak dan seorang cucu ini mengatakan, belum ada pengusaha lokal yang memprodiksi dua bahan tersebut. “Itu produk luar negeri. Tapi saya beli di Surabaya,” akunya.
Selain itu, keramik buatannya hanya dijual di dalam negeri seperti Bali, Surabaya, Malang dan kota lain di Indonesia. Dengan demikian, harga jualnya masih harga dalam negeri, bukan harga ekspor yang mengikuti kurs dolar. Untuk menutupi biaya produksi naik, Edi mengaku telah menjual kendaraan pri-badinya.
“Penghasilan kami berkurang. Sedang biaya produksi de-ngan jumlah produksi yang sama, biayanya naik atau bertambah. Ya terpaksa menjual kendaraan,”imbuhnya.
Dampak lain dari kondisi yang demikian adalah berkurangnya tenaga kerja yang semula 27 orang berkurang menjadi 21 karyawan. Namun begitu berterus terang, enam karyawannya itu berhenti bukan langsung dampak dari naik-nya bahan baku dan turunnya penghasilannya. “Enggak tahu kenapa mereka berhenti. Mungkin mau bekerja ditempat lain agar suasananya baru. Bukan kami yang membehentikan, tapi mereka sendiri yang mengundurkan diri,” papar Edi.
(M.HISBULLAH HUDA)