Ya, kau pasti juga tahu tentang kematian wangi yang ada di puncak Nglirip. Meski begitu aku tetap ingin bercerita kembali kepada anak cucu tentang apa yang ada dalam ingatanku. Sebelum senja susut lantas malam menjemput dengan wajah suram. Sebelum makam-makam di-poles cahaya purnama yang berkilauan. Tak ada hujan yang mengempas tanah dengan hunjam saat itu. Juga tak ada angin kencang menghardik pohon-pohon yang tegak mulai kaki bukit sampai puncak. Tak salah bila kejadian ini kuceritakan kembali. Kisah yang belum diketahui mistiknya secara rinci.
Tanah itu bernama Jojogan
Jojogan bukanlah tempat para hedonis yang biasa kong-kalikong dengan makhluk sesamanya. Bukan tempat singgah raja-raja dalam upacara pengangkatan putranya. Apalagi tempat para malaikat tak bersayap yang tegap menjaga tanah puncak. Bukan tempat yang dihiasi toak, legen, siwalan, seperti seharusnya kota Tuban. Namun, Jojogan tak lain tak bukan hanya tempat air mengalir tiap tahunnya. Bersanding air terjun sakral yang tiap tahunnya mencari mangsa. Tempat para pelancong usang berlabuh, dengan hanya untuk memandangi air kemerosok yang terjatuh pasrah dari puncak.
Di sana, kalau sedang beruntung, kau akan melihat pelangi melengkung di sekitar air terjun. Kau juga akan menemui senja merah merona yang memoles warna langit yang semula biru muda. Kau juga akan bisa merasakan angin segar menghapus gerah lantas menjadikanmu sejuk seperti pagi. Aha, Dari sinilah, aku akan mulai berkisah.
Bau wangi masih mengepul, bahkan mungkin sampai besok akan terus mengepul, dari jasad Den Jabbar (atau kau memanggilnya Mbah Jabbar) ini. Saat aku dan para santri lain memandikannya. Ada yang aneh dari jasad putra terakhir Pangeran Benowo II ini. Tiba-tiba ada wangi menjalar seperti membelaiku. Betapa wangi ini belum pernah aku temui sebelumnya. Kau berkata, wangi surga. Ya, wangi surge.
Wangi itu muncul bersamaan menyembulnya sayap-sayap halus ungu dari pundak seseorang bernama asli Pangeran Kusumoyudo itu dengan perlahan secara mengejutkan. Sayap itu mengepak bak bidadari turun dari surga, lembut sekali. Aku terpana. Kepakan sayap itulah yang menyebabkan wangi ini terburai.
Aku pandangi wajah bersihnya. Senyum itu menghiasi bibirnya. Aku rasa kematian ini sangatlah tiba-tiba. Amatlah cepat. Aku rasa kematian ini seperti luka yang datangnya tanpa aba-aba. Seperti angin yang tanpa minta izin.
Sungguh, kehidupan Den Jabbar di daerah Jojogan ini, menurutku, sangat singkat. Ya, singkat. Baru saja rasanya aku melihat ia bersujud di puncak bukit dengan cahaya yang mencuat dari tubuhnya bak siluet pagi yang mengagumkan. Dengan mata kepalaku sendiri kulihat cahaya itu menembus langit malam penuh bintang. Bahkan sinar purnama harus rela menepi untuk sementara.
Rasanya baru kemarin saja dia mengajakku menghilang dari dunia nyata. Berkeliling-keliling taman penuh anggur, bunga, dan masih banyak lagi yang belum aku kenali. Taman yang juga belum pernah aku temui sebelumnya. Dengan pelan dia bilang,
“Betapa di sini kau bisa hidup abadi. Hidup tenang tanpa rasa lapar atau pun bosan. Kau juga akan menemui bidadari-bidadari dengan sayap lembutnya membelai mesra tanpa dosa. Lalu, masihkah kau menggebu-gebu mengumpulkan kekayaan dunia. Bahkan dengan cara tidak halal sekalipun?”
Aku tidak melihat bidadari-bidadari yang dimaksud itu. Atau mungkin belum diperlihatkannya. Tapi aku percaya. Setelah itu, aku insyaf. Tak lagi mencuri jambu Mbah Yai Syarkowi yang saat itu berdalih dalil ‘Ulima ridouhu. Kalau Mbah Yai ridlo, ya jadi halal. Padahal belum tahu beliau ridlo atau tidak.’
Rasanya baru kemarin saja seseorang yang masih keturunan Raja Brawijaya V ini bercerita tentang dirinya yang kabur dari Kerajaan Pajang karena diburu Tentara Belanda. Toh, di sini dia tetap sengit melawan Belanda. Dengan biasa dia singgah di sebelah utara Krawak. Tempat sumber air jernih yang menyembul dari tanah bak Gangga India.
Terakhir kali aku melihatnya bernapas yaitu kala dini hari. Dia bilang padaku,
“Senantiasalah kau bertasbih, beristigfar, dan bersholawat.” tak ada pesan lain yang kuterima selain kata itu. Tak ada keris yang meliuk seperti milik empu gandring. Tak ada pedang mengkilat seperti milik Sholahuddin al-Ayyubi. Pun tak ada akik bermata mutiara dari surga.
Sementara di samping kami, Mbah Syarkowi bilang, “Jasadnya wangi. Itu baru murid saya. Apalagi kematian saya nanti.”
Aku terhenyak mendengar suara itu. Entah disengaja atau tidak. Atau bahkan salah kata, aku tidak tahu. Kami semua—para santri, tak berani bertutur apa-apa.
Nyatanya, seminggu setelah kejadian itu, dengan mengejutkan, Mbah Syarkowi meninggal dengan jasad bau busuk. Di pundaknya tak ada sayap ungu. Tak ada wewangian yang bertebaran. Beliau meninggal di tengah-tengah gerumbul ganyong.
Tak ada yang berani mendekat atau pun kuat dengan bau busuk itu. Akhirnya dengan menyesal, kami melemparinya batu sampai membuat tumpukan. Lalu, secepat kilat bau itu terhapuskan oleh wangi dari puncak tepat dari makam Den Jabbar.
Kini, kau tahu, tak ada lagi gerumbul ganyong di antara makam Mbah Ganyong. Tak ada lagi sayap ungu di pundak Den Jabbar. Tak ada yang membedakan antara wangi dan busuk. Aku tak hanya mengirimi do’a kepada makam yang ada di puncak, tapi juga makam terpencil di bawah pohon tepat di kaki bukit. Makam yang hanya seperti tumpukan kerikil.
Ya, aku adalah Fulan. Teman dekat waliyullah Jabbar alias Syekh Abdul Jabbar. Murid Mbah Ganyong yang suka mencuri jambunya. Dan sayap-sayap ungu yang selalu tawadlu’ ini, semestinya kau mengerti. [*]
Tuban, 5/12/2013
Cerpen: Daruz Armedian
Tinggal di Bantul, Yogya. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Dan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Agama.
Alamat: Jln. Parangtritis KM 7,5. No 44 Cabeyan, Sewon Bantul, Yogyakarta.