Usai menyeduh kopi, Sumini segera menghampiri Laksa, suaminya. Dia baru tiba di rumah, duduk di kursi bambu di teras rumahnya. Sumini datang dengan secangkir kopi, kemudian kopi itu diletakkan di atas meja di hadapan Laksa. Sumini duduk, tepat di samping kiri Laksa, sembari menyuguhkan senyumnya lantaran Laksa terdiam saja setelah percakapan terakhirnya.
“Suamiku! Kamu tidak gagal. Tatanan dunia kita ini saja yang tidak mau menerima orang seperti kita.”
“Aku tidak berhasil membawa apa yang kita butuhkan.”
“Tapi bukan berarti kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu sudah melakukan segalanya, lebih dari apa yang kita butuhkan.”
Laksa adalah seorang yang beruntung dapat memperistri Sumini. Seorang perempuan tangguh. Tidak hanya siap untuk bahagia bersamanya, tetapi juga siap untuk menderita. Kepribadian Sumini yang seperti itulah yang membuat Laksa tidak pernah melirik perempuan lain. Sumini tidak pernah mengaduh hanya karena nasib keluarganya kurang beruntung, atau dia menjadi hedon saat berada dalam keberuntungan. Perempuan sederhana dan lurus. Sopan dan halus cara bersikap dan bertuturnya. Seperti saat sekarang ini, Laksa sudah merasa gagal memenuhi apa yang dibutuhkan keluarganya, tetapi Sumini tetap tidak mengubah sikapnya. Dia tetap tampil sebagai spirit dan motivator untuk Laksa.
“Mereka itu meminta agunan.”
Laksa menatap wajah Sumini, kemudian segera menunduk. Tapi Sumini tetap tak ada perubahan. Wajahnya tetap tenang, memperhatikan sikap Laksa. Sumini sangat mengerti Laksa. Baginya, dia tetap harus tegak tegar. Itu adalah jalan penguat dan penenang suaminya. Kalau tidak, Laksa dapat melakukan apa saja untuk Sumini. Sumini tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Apa kamu menyepakitinya?”
“Tidak. Itu tidak mungkin. Satu-satunya barang berharga yang tersisa hanya tanah pekarangan itu beserta pohon-pohon kelapanya. Itu satu-satunya sumber penghasilan yang kita miliki sekarang ini.”
Laksa terlahir di keluarga yang tergolong kaya di kampung Batang. Orang tua Laksa adalah pedagang kopra yang sukses. Sementara Sumini berasal dari keluarga miskin. Laksa tertarik kepada Sumini, salah satu alasannya karena perempuan itu penuh semangat. Sekalipun dia berasal dari keluarga miskin, Sumini adalah seorang yang jujur, tidak gengsi. Sumini menempuh sekolah menengah sambil berjualan. Dia membuat gorengan, kemudian dititip di kantin sekolah. Saat sama-sama menempuh sekolah menengah itu Laksa menyimpan hati kepada Sumini hingga akhirnya mereka menikah.
Pernikahan Sumini dan Laksa menggegerkan warga kampung Batang. Karena Laksa adalah seorang anak tunggal dari seorang kaya di kampung Banteng, dia yang melanjutkan usaha keluarganya itu setelah bapaknya meninggal satu tahun sebelum pernikahannya. Maka berkembanglah opini publik bahwa Sumini adalah perempuan matre. Sumini dipandang tidak lebih dari seorang pelacur yang menukar tubuhnya dengan uang Laksa. Tapi opini itu tidak berlangsung lama, karena Sumini, sejak pernikahannya tidak pernah hidup mewah. Sumini juga tidak pernah menentang sikap dermawan Laksa, bahkan dia ikut mencari kaum dlu’afa’ untuk diberi santunan. Tidak hanya itu, ide untuk memberi bantuan terhadap pembangunan mosolla dan masjid di kampunya juga berasal dari Sumini.
Melihat sikap Laksa yang tidak berubah karena keberadaan Sumini, warga kampung Batang merasa bersalah kepada Laksa dan Sumini. Sebab itu pula warga kampung Batang semakin dekat kepada mereka. Sumini dan Laksa seumpama juru selamat bagi kampung Batang. Sumini dan Laksa adalah sepasang pasutri yang ringan tangan, tanpa pamrih. Suatu ketika Sumini dan Laksa pernah kehilangan uang lima juta. Setelah ditelusuri, pencurinya adalah karyawan mereka sendiri. Kasus itu sudah ditangani kepolisian, tetapi belakangan diketahui motif pencurian itu karena anak karyawannya sakit parah, harus dibawa ke rumah sakit dan membutuhkan biaya yang tidak murah. Namun karyawan itu enggan untuk minta bantuan lansung kepada Sumini dan Laksa, karena sudah terlalu sering katanya. Mendengar itu, Sumini dan Laksa segera membebaskan karayawannya bahkan biaya perawatan anaknya ditanggung. Itu hanya salah satu dari sekian kebaikan yang diperbuat pasutri itu. Masih banyak kebaikan-kebaikan lainnya.
Namun hidup serupa roda yang terus berputar, kadang di atas kadang di bawah. Itu juga yang terjadi pada Sumini dan Laksa. Bisnis kopra miliknya terus menurun. Selalu difisit. Modal harus selalu disuntik, dan untuk menyuntik modal itu Sumini dan Laksa meminjam uang ke bank dan menjual barang-barang yang dimilikinya, seperti emas, ternak, dan tanah. Hingga akhirnya yang tersisa hanya tanah di pekarangan rumahnya, semetara sertifikat tanah dan rumahnya sudah tergadaikan ke bank. Pekarangan yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa adalah satu-satunya harta berharga yang benar-benar miliknya. Dari tanah itu sumber penghasilan Sumini dan Laksa. Tetapi perlu diketahui, Sumini tetap terbukti setia kepada Laksa sekalipun sekarang Laksa berada dalam kondisi yang kurang beruntung. Sumini bukan perempuan mata duitan.
“Bukannya dulu kita pernah pinjam tanpa agunan?” tanya Sumini heran.
“Istriku, kita yang dulu beda dengan kita sekarang. Dulu kita memang mudah medapatkan pinjaman bahkan ditawari, karena dulu usaha kita mapan dan maju, sekarang kita sudah bangkrut dan terus bangkrut. Mereka khawatir kita tak sanggup mengembalikan pinjaman itu.”
Sumini diam. Menatap lurus ke pohon-pohon kelapa yang berbaris di pekarangan rumahnya. Dia membuka pikiran dan hatinya agar tidak salah menyikapi apa yang sedang terjadi.
“Sumini, istriku! Kamu benar, kita tidak gagal, tetapi dunia kita ini sudah tidak bisa menerima orang seperti kita. Dunia butuh tanda untuk percaya dan dipercaya. Dunia butuh agunan untuk menjamin dan dijamin. Dan kita, sudah dikuasai oleh dunia itu. Dunia yang menggambarkan kepribadian busuk. Dunia yang memanifestasikan keburukan. Dunia yang memperburuk. Tapi perlu kamu tahu istriku, dunia ini adalah kita sendiri. Kita yang telah menciptakan dunia ini, dunia yang penuh dengan kelicikan, kerakusan, egois, tak bertanggung jawab, dan pengecut. Semua ini adalah kita, yang terjelma menjadi dunia ini. Agunan itu sendiri adalah simbol nyata dari dunia busuk ini.”
Sumini tertunduk mendengar penjelasan suaminya.
“Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh panutan dan pimpinan kita?”
“Mereka sudah menjadi bagian dari dunia busuk ini. Bahkan mereka tidak hanya ikut mencipta tapi juga memeliharanya. Aku juga sudah mendatangi mereka untuk meminta bantuan, tapi tidak ada bantuan tanpa agunan, kata mereka. Orang seperti kita ini sudah seharunya pergi meninggalkan dunia ini.”
Tiba-tiba saja hujan turun menguyur percakapan sore pasutri itu di teras rumahnya. Deras. Sangat deras sekali. Hingga suara percakapan itu tak terdengar lagi. Hanya gemercik air dan halilintar memecah gelap. Lalu pasutri itu membuka pintu itu, masuk, kemudian menutupnya kembali.
Kamarku; Selasa, 14 Juli 2015
Cerpen: Edy Hermawan
Bergiat di Cemara Community Batang Batang. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta