Salah satu berkah reformasi 1998 adalah semakin terbukanya pola rekrutmen pada pemimpin baik di daerah maupun di tataran nasional.
Semua anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk dapat maju menjadi Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudahan setiap individu untuk mengakses rekrutmen pemimpin membawa konsekuensi baik positif maupun negatif. Dengan pola rekrutmen pemimpin yang terbuka dan tidak elitis maka seorang calon kepala daerah atau calon presiden bisa datang dari mana saja, tanpa memandang seseorang harus melalui jalur pekerjaan tertentu agar bisa menjadi pemimpin di tingkat daerah maupun nasional.
Sesuai dengan amanat undang-undang, maka pemilihan kepala daerah dilangsungkan serentak dalam waktu yang bersamaan. Memang dalam masa transisi akan dilakukan dalam beberapa gelombang. Pemikiran ini berangkat dari upaya agar pemilihan kepala daerah berjalan dengan efesien, efektif dan cepat atau tidak berlarut-larut.
Pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama akan dilakukan 9 Desember 2015 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2015 dan semester pertama 2016.
Gelombang kedua pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir semester kedua 2016 dan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2017.
Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan Juni 2018 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019. Gelombang keempat akan dilaksanakan pada 2020 untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015.
Pemilihan kepala daerah serentak gelombang kelima akan dilaksanakan pada 2022 untuk kepala daerah hasil pemilihan pada Februari 2017.
Pilkada serentak gelombang keenam akan dilaksanakan pada 2023 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018. Kemudian gelombang ketujuh, dilakukan pilkada serentak secara nasional pada 2027.
Dibandingkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota legislatif baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, pemilihan kepala daerah memiliki karakteristik tersendiri.
Dengan perbedaan latar belakang psikologis dan kebiasaan masing-masing daerah serta militansi massa pendukung para calon kepala daerah, membuat pemilihan kepala daerah di satu sisi bisa secara efektif memastikan pemimpin yang dipilih ada pemimpin yang diinginkan rakyat, namun disisi lain juga sangat rentan dengan konflik horizontal masyarakat bila potensi konflik tidak dikelola dengan baik.
Menurut Alfan Alfian dalam bukunya, “Menjadi Pemimpin Politik”, disebutkan kebutuhan adanya seorang pemimpin adalah karena kompleksitas kehidupan bermasyarakat sehingga membutuhkan sosok yang mampu mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan komunitas atau kelompok masyarakat tersebut.
“Suatu komunitas memerlukan panutan, yakni sosok yang dianut yang dianggap mampu mengayomi dan melindungi mereka, serta bisa diandalkan untuk berdiplomasi dengan komunitas lainnya,” menurut Alfan.
Penyampaian visi kepemimpinan merupakan salah satu jembatan bagi calon pemimpin untuk memperkenalkan dirinya melalui visi atau rencana yang akan dilakukan setelah terpilih sebagai kepala daerah.
Dalam Peraturan KPU nomor 2 tahun 2015 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota disebutkan masa kampanye berlangsung dari 27 Agustus-5 Desember 2015, kemudian debat publik/terbuka antar pasangan calon 27 Agustus-5 Desember 2015 dan masa tenang serta pembersihan alat peraga pada 6-8 Desember 2015.
Sebagian besar pasangan calon yang akan berlaga dalam pilkada serentak Desember mendatang masih menitikberatkan visi dan gagasannya pada mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ranah pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi dalam skala yang mikro.
Tawaran untuk pembangunan sarana kesehatan, sarana pendidikan serta program-program parsial untuk kesejahteraan petani dan nelayan masih menjadi tawaran yang umum disampaikan kepada pemilih.
Namun sejatinya keberhasilan para calon kepala daerah itu bukan pada tawaran apa yang akan dikerjakannya setelah ia terpilih nanti namun yang lebih penting dapat memenuhi ekspektasi atau harapan para pemilihnya.
Beberapa daerah yang dipimpin oleh kepala daerah yang bisa memenuhi ekspektasi pemilihnya membuat kepala daerahnya menjadi sosok yang populer dan setiap kebijakannya mendapat dukungan dari warganya.
Pemimpin yang diinginkan Secara umum wujud pemimpin yang diinginkan oleh masyarakat adalah pemimpin yang adil, pemimpin yang tegas dan pemimpin yang melayani kepentingan masyarakatnya.
Seorang pemimpin memerlukan dukungan dan keikutsertaan warganya dalam menjalakan program-program yang sudah dirancang dan disiapkan. Dukungan dan keikutsertaan itu dapat diwujudkan bila masyarakat membubuhkan cap bahwa pemimpin mereka memang layak diikuti atau dengan kata lain mereka berempati pada pemimpinnya.
John C Maxwell mengatakan ada tiga hal yang bisa dilakukan pemimpin agar mendapatkan empati dari masyarakat, yaitu berhentilah memerintah dan mulai mendengarkan mereka, berhentilah bersandiwara bagi kemajuan karir dan mulailah mengambil resiko demi kepentingan orang lain dan terakhir berhentilah bersikap suka-suka dan mulailah melayani orang.
Dalam banyak literatur politik dan kepemimpinan disebutkan seorang pemimpin harus mencintai pekerjaan yang dilakukannya, bukan untuk kebaikan dirinya sendiri namun untuk memenuhi janjinya kepada warga yang memilihnya.
“Kita dibentuk dan dituntun oleh apa yang kita cintai,” kata budayawan asal Jerman, Goethe.
Sementara itu filusuf Immanuel Kant mengumpamakan merpati dan ular dalam sikap seorang politisi dan juga pemimpin politik.
“Di satu sisi politisi memiliki watak merpati yang tulus, lembut dan penuh kemuliaan, namun disisi lain ia juga memiliki watak ular yang licik dan jahat yang selalu berupaya memangsa merpati. Seorang politisi yang ideal mampu mengendalikan watak ularnya,” kata Kant.
Pemimpin Demokratis Salah satu keunggulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung antara lain mendorong pemilihan pemimpin yang demokratis dimana semua orang memiliki hak yang sama dan bebas memilih siapa pun yang dikehendakinya menjadi pemimpin.
Namun dalam perkembangannya pemilihan langsung juga dapat diikuti oleh permainan politik uang yang justru dapat menghancurkan nilai-nilai demokratis.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan perlunya mewaspadai politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan digelar 9 Desember 2015.
“Yang perlu diwaspadai ‘money politic’, kejahatan luar biasa yang kita ingin tekan menjadi ‘zero’ (nol/tidak ada),” katanya dalam diskusi awasi pelanggaran pilkada, di Jakarta, Kamis (10/9) Ia mengatakan, pilkada serentak kali ini yang menganut asas non-diskriminatif, kesetaraan dan keadilan sehingga dana kampanye yang dibutuhkan tidak sebesar sebelumnya.
Sesuai dengan UU No. 8/2015 tentang Pilkada maka kampanye akan dibiayai negara baik melalui APBN maupun APBD lewat KPU Provinsi untuk pemilihan gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk pemilihan wali kota maupun bupati.
Selain menyiapkan acara debat terbuka antarcalon, KPU menyiapkan alat peraga kampanye mulai baliho, spanduk, reklame, stiker. Begitu pula dengan alat peraga kampanye di sejumlah media massa cetak, elektronik, dan “online” (dalam jaringan).
Sedangkan kampanye yang tidak dibiayai negara seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog serta kegiatan yang tidak ada larangan juga dibatasi dengan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2015 tentang dana kampanye.
KPU hingga saat ini telah menetapkan 765 pasangan nama calon kepala daerah lulus verifikasi. Mereka tersebar di 257 daerah, terdiri atas 644 pasangan calon berasal dari dukungan partai politik atau gabungan partai politik dan 121 pasangan calon perseorangan.
Para calon kepala daerah tinggal memilih, apakah menjadi pemimpin yang demokratis, melayani dan kemudian dikenang oleh masyarakat atau menjadi pemimpin yang berwatak ular dan kemudian berakhir di penjara.
(PANCA HARI PRABOWO/ANT)