“Sekarang, aku seperti seekor burung yang berteriak karena tertembak kemudian terjatuh menahan sakit, bergeletak-geletak berlumuran darah. Hanya menunggu dijemput untuk kembali pada sangkar yang disediakan dengan sayap-sayap patah” hanya ini yang menjadi lamunanku setiap malam dibawah rembulan yang disaksikan oleh sekawanan mata-mata berlian dari langit, semilir angin datang mencoba membuat suasana hati lebih tenang seakan dia bisa membaca firasatku yang membutuhkan kesejukan.
Dahaga jiwa yang semakin kering dan semakin membutuhkan anggur yang berada pada tangan Laila, aku bertanya pada malam yang hening dengan berkata “sapai kapan aku harus menahan dahagaku? Akankah Laila terketuk hantinya untuk memberikan anggur ditangannya demi menyembuhkan dahaga yang melanda jiwaku?”. Meskipun malam itu aku tau Laila telah terikat pada tangan lain, tangan yang mampu membuat dia bisa menikmati keindahan lagu kehidupan.
Aku tercengan mengingat tangan yang mengikatnya, diam meratapi mata-mata langit yang dari tadi memperhatikanku. Aku mencoba beranjak dari lamunan pergi ketaman dekat rumahku dan tidak begitu jauh dari rumahnya.
Suasana yang elok dengan bunga-bunga semerbak wanginya menghapiri jiwa, bayang-bayang pohon yang menyembunyikan kebencian pun menghampiri jiwaku, sabil menyusuri taman aku berkata “bolehlah bias rembulan malam ini menyembunyikan kebencian melalui baya-bayang pohon, tapi malam ini rembulan memberikan sinarnya untuk menyinari cinta yang tersembunyi dibalik hati yang penuh dengan semak-semak dosa”.
Entah, tiba-tiba datang seorang gadis dengan gaun putih ikut memperidah bunga-bunga di taman, dengan wajah yang berseri-seri mengambil tanganku kemudian mendekapnya dengan erat seraya berkata “izinkan malam ini aku mengambil percikan cahaya cinta yang tersembunyi dalam semak hati yang penuh dosa dan membersihkan semak-semak itu dengan cahayanya, sebagai penerang jalan hidupku menuju sebuah kuil cinta yang penuh dengan kedamaian, ketenangan, kebahagian, dan kesucian”.
Diam dan meratapi matanya yang sedikit berkaca-kaca, aku merasakan dia menuangkan anggur pada piala emas untuk aku rengguk sebagai obat penyembuh dahaga jiwa yang selama ini aku derita, aku juga merasa hidup dalam dunia impian yang ditarik olehnya menuju sorgawi, menikmati lagu kehidupan dengan berdansa-dansa bersama, diatas pentas penuh bunga-bunga mawar putih beserta semerbak wanginya mengelilingi pentas memperindah suasana pesta.
Aku tetap merasakan dekapan tangannya yang jari jemarinya semakin mempererat memasuki sela-sela jemariku seakan tidak mau melepaskan dan tidak mau berpisah sepanjangnya. Laksana Rama dan Sinta yang selalu menyatu sampai kematian menghampiri kisah cinta mereka.
Satu jam berlalu, dan disetiap menit-menitnya adalah sentuhan cinta. Keheningan malam sinar rembulan, bunga-bunga, dan pepohonan melupakan segala kenyataan kecuali cinta, begitu Laila melepaskan tangannnya, aku rasakan getaran listrik pada akar-akar sensoris berpadu dengan semilir angin malam. Laksana seorang pemuja yang diberkati dan menerima rahmat dengan merundukkan dahinya pada sajadah tempat pemujaan, aku mengambil tangan Laila, meletakkan bibir-bibirku yang terbakar olehnya, dan memberinya sebuah kecupan panjang, yang kenangannya meluluhkan hatiku dan mensuburkan sendi-sendi jiwaku yang selama ini kering karena dahaga.
Ketika tiba-tiba kami mendengar suara sepatu kuda gemeretak sepanjang lorong taman. Kami terjaga dari dunia percakapan yang menyenangkan dan terenggut dari dunia impian kedalam dunia kebingungan dan derita, kami tahu ia adalah lelaki yang akan menjemput Laila dari taman. Kami bangkit berjalan melewati kebun untu menyambutnya.
Laila, menundukkan kepalanya melemparkan muka dari rembulan ke jurang kenestapaan, pasrah menghampiri lelaki berkuda itu yang selama ini tidak pernah ada dalam hatinya. Aku hanya bisa diam dan memandanginya dari jauh perasaan haru birunya Laila, tak mampu untuk membela dan membebaskannya dari tangan lelaki berkuda dengan tiga orang prajuritnya.
Aku hanya bisa mengadu pada rembulan tentang Laila yang telah direnggut dari hidupku oleh lelaki mapan dan bermartabat “rembulan kaulah yang menjadi saksi malam ini, malam yang aku temukan dua keajaiban dunia yang bersatu dalam satu kisah asmara yakni cinta dan duka. Cinta yang menyatukan dua jiwa insan manusia dalam menikmati lagu-lagu kehidupan dengan iringan musik-musik romantis dari jazirah arab, dan duka yang memisahkan dua jiwa yang menyatu oleh tangan takdir yang merenggutnya membuang pada jurang kenestapaan penuh duri menusuk setiap sudut-sudut hati” [*]
Cerpen: Imron Maulana
Pemuda asal Pamekasan Madura, lahir pada 31 Agustus 1995 tepatnya pada sebuah desa di Kabupaten Pamekasan Kecamatan Pademawu yaitu desa Tambung.