“Aku baru bertandang ke rumahmu, sudah kau suguhi keresahan. Ayolah kopi-kopi dulu. Ini masih pagi Fir,” tutur Rohib.
Safir dan Rohib sudah berkawan sejak kecil. Mereka sangat akrab. Mereka biasa bicara ceplas-ceplos saat ngobrol. Langsung pada intinya, alias blak-blakan. Satu tahun yang lalu, Rohib terpaksa merantau ke Jakarta karena di kampung usahanya bangkrut dan terlilit hutang. Dia berangkat ke Jakarta bersama istrinya, sementara anak semata wayangnya dititip kepada mertuanya. Sekarang Rohib sudah kembali ke kampung dan dia tidak menunggu waktu lama untuk bertandang ke rumah kawannya.
“Ow ya, sorry aku lupa Hib.”
Seketika itu juga Safir beranjak dari tempat duduknya. Menuju dapur, kemudian kembali dengan dua cangkir kopi dan sebungkus rokok.
“Ini kopi spesial buat kamu Hib.”
Mendengar itu Rohib langsung ketawa ngakak. Dia sudah paham kalau Safir berkata begitu berarti dia sendiri yang membuat kopi itu.
“Memang istrimu kemana Fir? Aku sampai lupa mau nanyak kabarnya,” tanya Rohib.
“Ada. Dia sedang sakit.”
“Ooo, itu yang membuat kamu resah Fir?”
“Lebih dari itu kawan.”
“Trus?”
“Istriku memang sakit. Aku butuh biaya pengobatan. Dan lagi anakku sudah waktunya bayar uang semester. Tapi ini lebih dari itu Hib.”
“Aku ini kawanmu, jadi santailah. Soal biaya pengobatan dan semester anakmu, aku bisa tangani. Aku sekarang lagi beruntung, kalau kurang aku carikan kepada teman-temanku. Tapi akadnya seperti biasa. Akad hutang.”
Mendengar kalimat Rohib yang terakhir, Safir langsung ketawa. Bagitulah karakter Rohib. Dia orang yang sangat ringan tangan. Tanpa diminta bantuan sudah menyatakan siap membantu. Tidak hanya kepada Safir, tetapi juga kepada siapa saja yang membutuhkan. Dia memang bukan orang kaya raya, tapi kata orang kampungnya dia adalah orang terkaya karena sikap ringat tangannya.”
“Tapi hutangku yang kemarin belum bayar Hib.”
“Sudahlah Fir. Ini rezekimu. Ayo ceritakan kepadaku apa gerangan yang telah membuatmu resah sekarang!”
“Dua hari ini aku mendatangi beberapa pengutang di kampung kita. Itu aku lakukan karena keluargaku sudah tidak sanggup lagi membantuku. Mau minta bantuan kepadamu, aku sudah enggak enak karena hutang yang kemarin belum aku bayar. Singkat cerita, aku tidak mendapati utang tanpa keuntungan. Bedanya hanya pada cara dan besar kecilnya keuntungan yang diambil.”
“Zaman sekarang itu sudah tidak aneh kawan,” sela Rohib.
“Kamu benar Hib, tapi ini tetap cara yang tidak normal. Kemarin aku juga mendatangi Haji Dalmin untuk mengutang. Setelah aku tiba di sana dan mengutarakan maksud kedatanganku. Pak Haji Dalmin langsung paham. Kemudian dia menjelaskan bahwa kalau mau ngutang uang kepadanya ada aturan yang harus dipenuhi. Petama, hutang itu akan diakad sewa emas. Anggapannya, aku kesana menyewa emas dan dikembalikan saat aku mampu. Besar uang sewa yang harus dibayar 8% dari harga emas yang sudah ditetapkan sendiri. 8% itu harus aku bayar setiap bulan hingga aku membayar atau mengembalikan emas itu. Abnormalnya, aku datang ke sana untuk ngutang uang, tapi malah diakad sewa emas. Itupun emasnya tidak ada; kedua, apabila aku nunggak bayar yang 8% itu, maka aku harus bayar lagi 8% dari 8% yang awal tadi. Bagitu seterusnya. Masyarakat sini menyebutnya uang merdhi atau beranak pinak,” jelas Safir.
“Yang membuatmu resah?” tanya Rohib ingin memperjelas.
“Bagaimana dan kenapa itu terjadi di masyarakat kita?”
“Wah. Soal itu aku angkat tangan. Aku bukan ahlinya,” jawab Rohib.
“Begini saja. Besok kita nyabis ke Kyai Hafidz. Semoga di sana kamu menemukan jawabannya,” lanjut Rohib.
Safir langsung menyetujuai usul Rohib tanpa banyak pikir. Kyai Hafidz merupakan Kyai yang ditokohkan bahkan dinomersatukan di kampung mereka. Kyai Hafidz adalah pemimpin semua ritual keagaman, tempat bertanya warga kampung, tabib dan juga terkenal alim dan sufis di mata warga kampung. Kyai Hafidz guru Safir dan Rohib.
***
“Safir? Rohib?” sapa Kyai Hafidz setelah memanggil salam sambil membuka pintu. Mereka berdua segera mendekati Kyai Hafidz untuk salaman dan mencium tangan Kyai Hafidz sebagai tanda penghormatan.
“Ya Kyai. Maaf kami sudah cukup lama tidak nyabis.”
“Enggak apa-apa. Kalian tentu sibuk.”
Kyai Hafidz mempersilahkan mereka duduk kembali sambil memanggil seorang santriwati untuk membuatkan kopi.
“Bagaimana kalian dan keluarga?” tanya Kyai Hafidz.
“Alhamdulillah Kyai. Semua sehat,” jawab Safir dan Rohib bersama-sama.
“Syukurlah. Sekarang aku sudah semakin tua nak. Penglihatan juga tidak senormal dulu. Sudah lemah.”
Safir dan Rohib hanya menunduk. Mendengarkan tutur kata Kyai Hafidz. Tidak menyela, juga tidak menatap wajah kyai.
“Kamu sudah dengar kabar tentang aku nak?” tanya Kyai Hafidz.
Safir dan Rohib saling tatap. Komunikasi mata. Mereka bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
“Aku mau naik haji nak, tahun ini berangkat,” lanjut Kyai Hafidz.
Safir dan Rohib sudah mendengar kabar itu. Kabar tentang Kyai Hafidz yang akan naik haji. Tetapi mereka tidak begitu menggubris kabar tersebut, bukan karena tidak penting, tapi kabar itu ada muatan negatifnya, sehingga mereka kurang percaya. Sekarang mereka tidak lagi mendengar kabar burung. Kabar itu jelas didengar dan disampaikan oleh Kyai Hafidz sendiri.
“Tapi nak, keberangkatanku tidak dibiayai sendiri. Ada seorang warga kampung kaya membiayaiku. Kalau aku sendiri nak, sulit diterima akal. Kalian tentu sudah tahu siapa aku. Aku hanya pemuka agama, pemimpin ritual, tabib dan guru ngaji di kampung ini. Kalau ada rezeki aku ambil, kalau tidak ada aku dan keluargaku harus sabar. Dan hanya aku yang mau diberangkatkan. Tidak keluargaku,” tutur Kyai Hafidz.
Sebagai santri, mereka hanya mendengarkan apa yang disampaikan Kyainya. Manggut-manggut.
“Kalian kenal dengan Haji Dalmin?” tanya Kyai Hafidz. “Dia Haji Dalmin, seorang kaya, baik dan dermawan di kampung ini yang akan membiayai keberangkatanku ke tanah suci.”
Mendengar itu Safir terhentak seperti dihujam tombak. Tanpa sadar dia mengeluarkan lafadz istighfar. Tapi hanya Rohib yang mendengarnya. Rohib merasa Safir begitu gelisah. Dia ingin segera beranjak pulang. Rohib paham itu. Maksud dan tujuan awal kedatangan mereka kepada Kyai Hafidz tampak sudah tak penting.
“Nak! Kalian datanglah kemari saat aku datang dari tanah suci. Tapi setibanya di sini, aku selama tiga hari diminta Haji Dalmin untuk tinggal di rumahnya dulu karena di sana akan banyak bertamu. Maklumlah. Dia orang baik, pasti akan punya banyak tamu. Betapa baik dan dermawannya dia, bukan hanya aku yang dibiayai naik haji, keluarganya juga. Dia dan istrinya, dua anaknya, satu menantunya, kedua orang tua dan mertuanya,” cerita Kyai Hafidz lebih lanjut.
“Kyai. Saya mohon pamit dulu. Ada acara keluarga di rumah.” Tiba-tiba saja suara itu keluar dari Safir. Rohib tidak menyangka itu dia seberani itu karena Kyai Hafidz belum menyelesaikan ceritanya. Safir langsung mendekati Kyai Hafidz untuk salaman sebagai tanda pamitan. Tanpa diminta Rohib pun terpaksa mengikutinya.
Dalam perjalan pulang, terjadi perbincangan serius tentang Kyai Hafidz yang akan naik haji dan Haji Dulmin yang dipuji-puji Kyai Hafidz.
“Fir! Aku tadi mendengar kau melafadzkan istighfar saat kyai berkata bahwa keberangkatannya ke tanah suci dibiayai oleh Haji Dulmin.”
“Hib! Ini bukan soal halal haram, ada akad yang jelas atau tidak ada akad, ini soal peras memeras dan tindas menindas. Kau, aku, dan Kyai Hafidz berada di pihak siapa?”
Teras Rumahku; 22 September 2015
Cerpen: Edy Hermawan
Bergiat di Cemara Community Batang Batang. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.